Skip to main content

6 Aspek Penting Hubungan Politik dan Pendidikan Menurut Muhammad Sirozi

6 Aspek Penting Hubungan Politik dan Pendidikan Menurut Muhammad Sirozi

www.azid45.web.id - 6 Aspek Penting Hubungan Politik dan Pendidikan Menurut Muhammad Sirozi. Pendidikan dan politik terpisah merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Keduanya adalah unsur penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya saling bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara karena saling menunjang dan mengisi. Lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat. Begitu juga sebaliknya, lembaga dan proses politik membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan.

Pandangan adanya hubungan antara keduanya membawa dampak yang bisa cenderung positif ataupun sebaliknya. Asumsi bahwa hubungan yang tak terpisah antara keduanya memberi celah bagi negara untuk menjadikannya sebuah landasan

fundamental untuk berkembang maju. Sedangkan asumsi hubungan yang terpisah antara keduanya membuat keyakinan yang sangat mengental bahwa keduanya harus berpisah karena politik itu licik dan tidak bisa disatukan dengan pendidikan yang mengajarkan kebaikan pada siswa.

Di Indonesia sendiri, belum berkembangnya hubungan antara keduanya bukan berarti karena bidang kajian tidak bermanfaat, tetapi karena kurangnya penelitian dan publikasi baik di karya ilmiah, jurnal atau yang lain. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih lanjut hubungan politik dan pendidikan .

Hubungan Politik dan Pendidikan

Sebelum membahas hubungan antara politik dan pendidikan baik secara umum maupun perspektif Islam kiranya perlu dipahami apa politik dan pendidikan itu sendiri. Politik adalah kenegaraan, ilmu ketatanegaraan, pemerintahan, siasat, tipu muslihat, kelicikan, daya upaya, kebijakan, kegiatan dan interaksi manusia yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat untuk masyarakat umum.[1] Politik berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[2] Adapun Pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk mempersiapkan manusia mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam membentuk masa depannya.[3] Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi suatu negara atau penopang kerangka politik. Besarnya peran lembaga pendidikan untuk menyampaikan misi politik suatu negara.[4] Di negara barat hubungan antara politik dan pendidikan dimulai Plato untuk membahas berbagai persoalan kenegaraan dan hubungan ideologi dan lembaga negara dengan tujuan dan metode pendidikan.[5] Ia menganggap sekolah sebagai salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga politik. Setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok elite yang mengusasi politik, ekonomi, agama dan pendidikan. Plato mengibaratkan pendidikan dan politik seperti sebuah koin yang tak mungkin dipisahkan dan selalu dinamis. Timbal baliknya terjadi melalui tiga aspek yaitu:

1. Pembentukan sikap kelompok (group attitudes)
2. Masalah pengangguran (un-employment)
3. Peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia).[6]

Sedangkan karakteristik kebijakan pendidikan pada masa penjajahan Belanda yaitu kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving (selalu diarahkan untuk kepentingan penjajah). Dampaknya dalam kehidupan masyarakat waktu itu, yaitu:

1. Timbul konflik keagamaan kelompok muslim dengan non-muslim.
2. Menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan yang berasal dari keluarga biasa
3. tercipta polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka
4. Menghambat perkembangan kaum pribumi.[7]

Dalam hal ini, ada enam pembahasan penting menurut Muhammad Sirozi tentang hubungan politik dan pendidikan:

1. Pendidikan dan Sikap Kelompok

Hubungan kekuasaan antar kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan barat. Kelompok yang tertekan karena menjadi korban imperalisme budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan terpisah untuk melindungi identitas mereka (pendidikan pesantren). Sementara yang lain menginginkan terjadi penyeragaman sistem pendidikan agar dapat mengeliminasi bahaya laten perpecahan sosial sehingga munculah sekolah Arab, Cina, Kristen, Islam, dll. Bertahannya sistem ini bergantung pada dua hal yaitu memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat dan generasi muda mengalami belajar bersama mencairkan perbedaan sosial mereka.[8]

2. Pendidikan dan dunia kerja

Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Masalah pengangguran menjadi ujian bagi pemerintah di negara berkembang. Tuntutan itu untuk mengimbangi keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan masyarakat, dan manusia yang terdidik itulah yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa.

Hubungan politik dan pendidikan berakibat pada semua dataran filosofis dan kebijakan. Di Indonesia sendiri filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai yang ada pada Pancasila dan UUD 1945.pada dataran kebijakan, sangat sulit memisahkan antara kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah dengan persepsi dan kepercayaan publik yang ada pada pemerintah tersebut.

Implementasi dari kebijakan pendidikan berdampak pda kehidupan politik seperti akses, minat, dan kepentingan pendidikan para stakeholder pendidikan (orang tua, peserta didik, masyarakat). Pada sisi lain empat aspek kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan oleh pemerintah yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide dan sikap.

Di negara berkembang dinamika antara pendidikan dan politik cenderung lebih tinggi karena perubahannya lebih nyata dalam proses menghantarkan negara jajahan menuju gerbang kemerdekaan. Di Indonesia sendiri, penghancur sistem kolonial adalah murid yang dididik di sekolah kolonial.

Besarnya peran sisem persekolahan dalam meruntuhkan kolonialisme terlihat jelas. Kebijakan politik pemerintah kolonial, politik etis mengakibatkan perluasan akses pendidikan bagi kaum pribumi. Pada sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial politik dan memperkuat sentimen kebangsaan mereka. Hal itulah yang memacu kegiatan politik dan menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kolonial waktu itu. Buktinya tokoh-tokoh pribumi yang dididik menjadi figur utama dalam gerakan nasionalis yang menggugat kolonialisme.[9]

3. Format Hubungan

Hubungan keduanya terwujud kedalam bentuk yang berbeda sesuai dengan karakteristik sosial politik negara. Negara berkembang yang masyarakatnya primitif menanamkan pada generasi muda tentang kepercayaan, nilai-nilai, dan tradisi dan mempersiapkan untuk berperan secara politis. Sedangkan yang masyarakatnya maju, masyarakatnya lebih berorientasi pada teknologi dan mengadopsi nilai-nilai dari lembaga Barat, yang dulunya berpola tradisional menjadi modern.

Negara maju menjadikan pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik. Jika politik dipahami sebagai praktek kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan otoratif tentang alokasi sumber daya dan nilai sosial maka jelas bahwa pendidikan tidak lain adalah bisnis politik. Lembaga pendidikan terlibat dalam praktek kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Dengan kata lain, politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga pendidikan.

Penegasan ini menyatakan bahwa pendidikan dan politk adalah hubungan erat dan mempengaruhi. Aspek pendiidkan senantiasa mengandung unsur politik dan setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek pendidikan.[10]

4. Ide Non-Political School

Walaupun hubungan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan nyata, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas itu. Pihak yang tidak setuju mengingikan upaya perubahan untuk mengikis elemen politik dalam pendidikan. mereka menginginkan agar keduanya menjadi wilayah yang terpisah.

Pemisahan itu untuk membebaskan lembaga pendidikan dari kepentingan politik penguasa. Persoalan ini memuncak pada tahun 70-an di Amerika Serikat karena ada keinginan menciptakan dinding pemisah anatar karakteristik sistem politik dengan kebijakan pendidikan. Para ilmuwan kecewa karena praktek korupsi yang dilakukan partai politik pada akhir abad ke-19 sehingga mereka mengabaikan aspek politik dari pendidikan. Tetapi karena kajian persoalan ini sangat minim, penjelasan tentang dasar pemisahan antara keduanya masih sulit ditemukan.

Hingga tahun 80-an, banyak negara masih ada keyakinan bahwa politik dan pendidikan adalah kegiatan yang terpisah. Keyakinan ini memberi keraguan pengertian politik pendidikan dan tujuan, fokus, serta wilayah kajian politik pendidikan sebagai bidang kajian akademik. Di Amerika sendiri, selama beberapa tahun sekolah publik ditempatkan dalam sebuah ruang anti dan tanpa politik.

Pendukung non-political-school yaitu para pelaksana dan praktisi pendidikan menciptakan seperangkat mitos yang menggambarkan pendidikan sebagai suatu fungsi pemerintahan yang harus dikeluarkan dari politik dan dijaga oleh pendidik sebagai cara yang dapat mengamankan kepentingan publik. Sedangkan di Australia, munculnya sikap non-political-school karena 4 faktor yaitu:

a. Keyakinan itu bagian dari hasil konflik tajam antara gereja dan sekolah pada abad ke-19.
b. Konfilk itu memunculkan pandangan yang meluas bahwa politik tidak boleh mengganggu pendidikan, dan sistem sekolah pemerintah dan penarikan bantuan dari sekolah gereja harus berjalan.
c. Keyakinan bahwa pendidikan diluar politik telah mengakar dikalangan pendidik profesional selama bertahun-tahun.
d. Pandangan bahwa politik adalah sesuau yang kotor dan tidak terhormat karena berkenaan dengan ide korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kurang baiknya gambaran tentang partai politik.

Pandangan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah tidak mengandung kebenaran baik di negara maju dan berkembang karena keduanya merupakan aktivitas yang mendasar dalam semua masyarakat. Keduanya adalah sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai dalam masyarakat. Lembaga yang menyelenggarakan aktivitas keduanya akan saling memengaruhi karakter dan budaya yang dimiliki masyarakat.[11]



5. Hambatan ke depan

Hubungan antara politik dan pendidikan sekarang ini terlihat dalam kebijakan pendidikan yang telah menjadi tema perdebatan dan kompetisi antar partai politik. Dalam kampanye, pendidikan menjadi salah satu isi pokok dalam materi atau dalam rumusan visi dan misi para kandidat. Para pendidik telah tampil sebagai kelompok militan yang dengan gigihnya memperjuangkan hak mereka.

Selain pendidik, administratur pendidikan dan masyarakat luas menyatakan bahwa tekanan dan kekuatan politik sangat berpengaruh terhadap lembaga dan kebijakan pendidikan. Pemahaman tentang persoalan pendidikan tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek dan konteks politik dari persoalan kependidikan itu.[12]

6. Perkembangan di Indonesia

Politik tidak terpisahkan dari pendidikan, kecuali jika negeri ini ingin memiliki generasi yang buta politik (tidak bisa megeluarkan negeri ini dari krisis). Politik adalah cara mengelola lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, tugas sekolah untuk membantu pelajar untuk dapat membedakan politik yang baik dan tidak baik (sesuai dengan peraturan).

Para mahasiswa di perguruan tinggi harus belajar tentang tanggung jawab sebagai warga negara (civic responsibility) dan tidak boleh acuh tak acuh terhadap sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan tinggi. Itulah bukti ketidakterpisahan antara politik dan pendidikan. Politik adalah realitas kehidupan dan menyikapi secara bijak. Pandangan sistem pendidikan tentang politik sebagai sesuatu yang kotor membuat masyarakat tidak mau menjadi politisi. Apabila hal ini terus terjadi, Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat politik. Dari pemikiran itu dapat ditarik pemahaman, bahwa:

a. Kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik,
b. Pentingnya pendidikan dalam menentukan corak dan arah politik.
c. Kesadaran akan pentingnya pemahaman antara keduanya.
d. Perlunya pemahaman yang lebih luas tentang politik.
e. Pentingnya civic education (pendidikan kewargaan).

Pendidikan dan politik perlu diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas. Keduanya memberi indikasi yang cenderung ke arah positif walaupun kajian politik pendidikan masih menjadi barang langka dan jarang terdengarnya di pusat studi kependidikan di negeri ini. Tetapi sudah ada perguruan tinggi yang sudah memasukkan politik pendidikan ke dalam kurikulum seperti di perguruan tingggi UIN Sunan Kalijaga dan UIN Jakarta.

Diskusi tentang isu fundamental tentang pendidikan sudah mengungkapkan aspek dan hambatan yang bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia seperti kecilnya dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan disebabkan dari rendahnya komitmen politik pemerintah. Banyak topik dan buku yang membahas kajian dan aspek politik bermunculan. Hal itu membuktikan bahwa pemahaman tentang hubungan keduanya sudah berkembang. Upaya strategis diharapkan agar pemahaman itu terus berkembang. Kajian politik pendidikan diharapkan terus diminati dan berkembang di pusat studi kependiidkan hingga wacana kependidikan tidak hanya tertuju pada isu dan materi pembelajaran tetapi juga mengarah pada konteks sosial politik dari isu-isu tersebut.

Memasuki abad ke-21, Indonesia memberlakukan otonomi daerah dan lingkungan politik pendidikan yang mengalami perubahan, yaittu terjadi perubahan peranan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, terfragmentasinya pendidikan baik politik maupun bentuk program, dan muncul kembalinya kepentingan non kependidikan, terutama dunia bisnis dalam wilayah pendidikan.[13]



[1] H.S, Kartoredjo, Kamus Baru Kontemporer, (Bandung: Rosdakarya, 2014), hlm., 290.
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm., 905
[3] Agus Irianto, Pendidikan sebagai Investasi Suatu Bangsa, (Jakarta: Kencana,2011), hlm., 3.
[4] M. Sirozi, Politik Pendidikan Politik Pendidikan: Dinamika hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 2005), hlm., 3.
[5] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 6-7.
[6] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 7.
[7] Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: peran tokoh-tokoh Islam dalam penyusunan UU No.2/ 1989, (Jakarta: Inis, 2004), hlm.,17-29.
[8] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 9-10.
[9] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 10-15.
[10] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 15-20.
[11] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 20-26.
[12] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 26-28.
[13] Ibid., M. Sirozi, Politik Pendidikan, hlm., 28-35.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus