Skip to main content

Pandangan Hukum Islam Terhdap EKS Terpidana

Pandangan Hukum Islam Terhdap EKS Terpidana

www.azid45.web.id - Perdebatan dibukanya hak eks terpidana untuk mendjadi pejabat Negara terjadi tidak hanya dalam konsteks keindonesiaan semata. Naumn dalam kerangka teori keilmiahan terutama dalam teori – teori fiqhu as-siyasah klasik juga menjadi perdebatan yang unik.

Era Orde Baru membuka peluang dan menjamin hak eks terpidana yang tertuang dalam UU No. 5 Pasal 14 Tahun 1974, hal tersebut terbukti dengan tidak dicantumkannya syarat calon pejabat Negara bukan eks terpidana yang dikenai hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Berbeda dalam UU No. 10 Pasal 50 Tahun 2008 tentang syarat calon anggota DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II juga UU Pilpres No 23 Tahun 2003 Pasal 16, UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemilihan kepala dan wakil kepala daerah, UU No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum mensyaratkan calon pejabat bukan orang yang pernah dipidana penjara 5 tahun atau lebih.

Hasil penelitian penyusun terhadap argumen-argumen atau dalam DIM (Daftar Isian Masalah) pembentukan UU diatas yang melarang dan menutup hak eks terpidana menjadi pejabat negara adalah ukuran moralitas dan etika an sich terhadap eks terpidana pejabat negara lebih dikedepankan dari pada ukuran keilmuan normative (aspek hukum jinayah dan siyasah) dan praktek – praktek sosial historis terutama dilihat praktek dari fiqhu as-siyasah klasik.

Moralitas dalam pengertiannya adalah kualitas dalam perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk[124] Aliran positivism moral menyebutkan semua moralitas bertumpu pada hukum postif, perbuatan dianggap benar atau slaah berdasarkan:[125]

1. Kebiasaan manusia
2. Hukum – hukum Negara
3. Pemilihan bebas Tuhan

Syarat yang berasal dari ajaran agama – agama memiliki nuansa yang berbeda.[126] Namun dari sudut sosial kemasyarakatan, persyaratan tersebut dikelompokkan ke dalam hal – hal yang baik dan normative. Hampir pasti tidak aka nada orang atau kelompok yang akan mengajukan kriteria calon pemimpin seperti yang diajukan di atas dengan sebutan yang kontra produktif. Semisal koruptor, pembohong, penzina, jauh dari ajaran agama dan sebagainya. Karena itu wacana tentang kriteria calon pemimpin sudah seharunya beranjak dari titik syarat atau kriteria dan kewajiban calon pemimpin.

Hukum yang ditegakkan dalam syari’at Islam mempunyai dua aspek, yaitu preventif (pendidikan) dan refresif (pencegahan). Dengan diterapkan kedua aspek kemaslahatan (positif), yaitu terbentuknya moral yang baik, maka akan menjadikan masyarakat menjadi aman, tentram, damai, dan penuh dengan keadilan. Karena moral yang dilandasi akan membawa perilaku manusia sesuai dengan tuntunan agama.

Menurut penulis dalam aturan apapun, para mantan terpidana tak seharusnya dibatasi. Selain tidak pernah dicabut hak pilihnya oleh pengadilan, hakikatnya mereka telah menjalani proses penyucian dan penyucian kembali. Sudah selayaknya mereka seumur hidup tidak dilekati prediket pendosa.

Namun, menurut penulis pula hal tersebut tidak merupakan kemutlakan, semisal dalam kasus tindak pidana recidivist atau perilaku yang sudah bebas menjalani hukuman, namun melakukan tindak pidana kembali (recidivist) maka tujuan pemidanaan refresif (pencegahan) sudah tidak relevan. Begitu juga bagi tindak pidana qazaf yang memiliki implikasi maslahat lebih besar dari pada pembunuhan biasa atau tindak pidana lainnya guna menghindari “pembunuhan” karakter tertuduh dan keturunannya.

Argumen yang menutup hak eks terpidana menjadi pejabat Negara dengan alasan norma dan etika an sich bagi penulis adalah alasan yang idealis, apologik dan defensive dalam memaknai hukum Islam. Argument ini didasarkan bahwa memang sejarah siyāsah Islam tidak pernah melarang eks terpidana menjadi pejabat Negara serta didasarkan pada tujuan dan fungsi pemidanaan dalam Islam. Menutup hak menjadi pejabat Negara atau hanya cocok di sanksikan kepada pelaku tindak pidana recidivist dan pelaku qazaf.

Dengan mengecualikan pelaku tindak pidana recidivist dan pelaku qazaf UU No. 10 Tahun 2008 pasal 50 ayat 12 huruf g sejatinya bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang hak asasi manusia dalam hal ini hak politik eks terpidana menjadi pejabat Negara. Selain itu kedudukan eks terpidana dalam UU No. 10 Tahun 2008 pasal 50 tersebut bertentangan dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip dalam kehidupan masyarakat dan bernegara sesuai diamanantkan al-Qur’an yaiut:

a. Kejujuran dan tanggung jawab (al-amānah)
b. Keadilan (al-Adālah)
c. Persaudaraan (al-Ukhwah)
d. Pluralisme (al-Ta’addudiyah)
e. Persamaan (al-Musāwah)
f. Permusyawaratan (al-Syūrā)
g. Mendahulukan perdamaian (al-Silm)
h. Konrol (Amr bi al-Ma’ruf an-Naby’an al-Munkar)

Implikasi sosiologis keberadaan UU No. 10 Tahun 2008 pasal 50 huruf g adalah menciptakan kelas-kelas baru dalam masyarakat antara lain:

a. A class of the higher order, yaitu kelas yang didudukkan sebagi subyek penyandang hak.
b. A class of the lower order, yaitu kelas yang didudukkan sebgai objek tanpa hak.

Meskipun demikian, UU No. 10 tahun 2008 pasal 50 ayat 12 yang mengatur syarat-syarat calon pemimpin tertuama huruf g jika dibandingkan dengan Negara Republik Islam Iran dan Malaysia lebih menghormati keberadaan eks terpidana.

Kesimpulan hasil penelitian penyusun diatas dapat dirangkum menjadi:

Pertama, Islam membuka pintu dan memberi peluang bagi eks terpidana menjadi pejabat Negara atau public. Argumen ini mengacu selain secara normative dan sosio-historis as-siyāsah as-syar’īyah hal ini juga mengacu kepada fungsi dan tujuan pemidanaan Islam yaitu preventif (pendidikan).

Kedua, Islam juga menutup pintu atau membatasi bagi eks terpidana terutama pelaku tindak pidana recidivist dan qazafi dengan menutup hak-haknya termasuk menjadi pejabat Negara atau public dengan argumentasi tidak berfungsinya bagi tujuan pemidanaan dlaam Islam yaitu refresif (pencegahan) secara personalia. Menurut penulis pelaku recidivist tersebut sudah cacat moral akut. Juga dalam kasus qazāf yang lebih ditekankan adalah maslahat sosialnya.


[124] W. Poespoprodjo, Filasafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hal.118
[125] W.Poespoprodjo, Filsafat, hal.119
[126] Calon pemimpin yang normative dengan merujuk Imam Al-Mawardi dalam al-Ahkām as-Sultāniyah Wa al-Wiyāta ad-Diniyah. Al-Mawardi menulis, bahwa syarat-syarat seorang pemimpin adalah adil, mempunyai kempentensi Ijtihad, sempurna dan sehat panca indra tidak cacat secara fisik. Mempunyai visi keselamatan sosial, tegas dan berani
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus