Skip to main content

Demokrasi Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur'an

Demokrasi Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur'an dalam Kajian Filsafat

www.azid45.web.id - Demokrasi Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur'anOleh Azid Zainuri (Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Sunan Ampel Surabaya)



DEMOKRASI PENDIDIKAN ISLAM


1. Pengertian Demokrasi Pendidikan Islam

Dalam berbagai sudut pandang, kita akan mengetahui apa itu Demokrasi. Jika kita melihat secara umum kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni demos (masyarakat) dan kratia (kekuasaan) yang secara teori memiliki arti bahwa sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat[1]. Maksud dari kata tersebut ialah bahwa rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah

ditetapkan rakyat tersebut. Selain itu, demokrasi juga menyeruhkan kebebasan manusia secara menyeluruh baik dalam hal kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan memilih dan kebebasan bertingkah laku.[2]

Apabila kata demokrasi dihubungkan dalam dunia pendidikan, maka memiliki makna bahwa pendidikan yang demokrasi adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama –yakni persamaan kewajiban, hak, dan perlakuan– kepada setiap peserta didik dalam mencapai tingkat pendidikan –baik formal, informal, maupun non formal– setinggi-tingginya dengan kemampuannya.[3] Dalam hal tersebut, Nabi Muhammad SAW telah bersabda: (طلب العلم فريضة على كل مسلم)[4] “menuntut ilmu wajib bagi umat islam laki-laki maupun perempuan” –ibnu Majjah. Hadits tersebut mencerminkan bahwa didalam Islam terdapat demokrasi pendidikan, dimana Islam tidak membedakan antara muslim laki-laki dan muslim perempuan dalam hal kewajiban dan hak menuntut ilmu.

2. Prinsip-Prinsip Demokrasi Pendidikan Islam

Pada Dasarnya Islam memberikan kebebasan individu peserta didik untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada didalam dirinya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam juga memberikan petunjuk kepada para pendidik agar mereka tidak mengekang kebebasan peserta didik dalam mengembangkan potensinya yang dibawah sejak lahir. Didalam Al-Qur’an dan Hadits juga, pada dasarnya telah menjelaskan prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam sebuah pendidikan Islam, diantaranya:

Pertama, adanya keharusan bertanya kepada ahli ilmu, sebagaimana dalam Q.S Al-Nahl:43 Allah berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗا نُّوحِيٓ إِلَيۡهِمۡۖ فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ  

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran ada hal-hal yang kurang dipahami maka perlu bertanya kepada ahli dalam bidangnya.[5]

Kedua, adanya keharusan berdiskusi secara variatif, fleksibel dan adaptif, sebagaimana dalam Q.S Ali Imran:159

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ  

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Dalam ayat tersebut, terdapat konsep berdiskusi yang memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi yang menjadi prinsip dasarnya, yakni prinsip kebebasan, prinsip persamaan, dan prinsip penghormatan terhadap martabat manusi.[6]

3. Bentuk Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan Islam

Menurut Hasbullah dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan” tentang demokrasi pendidikan Islam, ada beberapa pedoman pelaksaan dalam demokrasi yang ditujukan bagi peserta didik dan pendidik, yaitu:

a) Saling menghargai merupakan wujud dari perasaan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah.
b) Penyampaian pengajaran harus dengan bahasa dan praktek yang berdasarkan atas kebaikan dan kebijaksanaan.
c) Memperlakukan semua peserta didik secara adil.
d) Terjalinnya rasa kasih sayang antara pendidik dan peserta didik.
e) Tertanamnya pada jiwa pendidik dan peserta didik akan kebutuhan, taufik, dan hidayah Allah.[7]

MULTIKULTURAL PENDIDIKAN ISLAM


1. Pengertian Multikultural Pendidikan Islam

Istilah multikultural adalah sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kanada pada sekitar tahun 1950-an, dimana istilah tesebut memiliki makna yang menekankan konsep tentang sejumlah kelompok sosial monoetnis, yang karena berbagai alasan, dikucilkan dalam masyarakat modern.[8] Adapun arti multicultural dari segi akademis dalam pandangan Donny Gahral Adian yang dikutip Fahri menjelaskan bahwa pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada filsafat postmodernisme dan cultural studies yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme yang memiliki isu-isu perbincangan didalamnya tentang konsep budaya, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalism, toleransi, dan solidaritas.[9] Sedangkan dalam dunia pendidikan –lembaga sekolah– sebagaimana yang disebutkan Ainurrafik Dawam, menjelaskan bahwa pendidikan multicultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghadapi pluralitas dan heterogenitanya sebagai konsenkuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran agama.[10]

Berdasarkan pada pemahaman tersebut sangat jelas sekali, bahwa masyarakat multicultural adalah masyarakat yang mampu mengedepankan adanya berbagai keragaman budaya dalam lingkungan masyarakat luas. Namun dalam keragaman tersebut terkandung nilai-nilai yang penting bagi pembangunan eksitensi manusia sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا  

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu[11]

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفُ أَلۡسِنَتِكُمۡ وَأَلۡوَٰنِكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡعَٰلِمِينَ  

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui[12]

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ  

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal[13]

2. Aspek Pendidikan Multikultural dalam Islam

Secara terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam multikultural, antara lain :

a) Pendidikan Islam multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman.
b) Pendidikan multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran peserta didik terhadap realita multikultural yang ada.
c) Pendidikan multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap peserta didik.[14]

Dengan demikian, pendidikan Islam multikultural akan mampu menumbuhkan kearifan berpikir anak didik dalam melihat segala bentuk perbedaan, dan anak didik dengan leluasa memposisikan dirinya untuk mengapresiasikan potensi dan karakter yang dimilikinya.
Lebih lanjut, selain ketiga aspek tersebut menurut A. Malik Fadjar yang dikutip oleh Muhaimin dalam bukunya, bahwa pendidikan Islam perlu untuk dikembangkan lagi ke arah : (1) pendidikan Islam Multikulturalis, yakni pendidikan Islam dikemas dalam watak multicultural, ramah menyapa pebedaan budaya, social dan agama; (2) mempertegas misi penyempurnaan akhlak (liutammima makarimalakhlak); dan (3) spiritual watak kebangsaan, termasuk spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang beradab.[15]

Dalam mewujudkan hal tersebut, diharapkan kepada guru selaku pendidik untuk mau berusaha meningkatkan, memperkuat serta memperluas wawasan keislaman peserta didik, karena dengan keluasan wawasan keislaman tentang keberagaman, akan berimplikasi pada sikap husnudzan serta akan memiliki akhlakul karimah, baik terhadap sesama agama maupun kepada orang lain.

PENGEMBANGAN ILMU DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

1. Hakikat Pengembangan Pendidikan Islam

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution) dan perubahan secara bertahap.

Menurut Iskandar Wiryokusumo yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, pada hakikatnya pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh, selaras, pengetahuan, keterampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan-kemampuan, sebagai bekal atas prakarsa sendiri untuk menambah, meningkatkan, mengembangkan diri ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal serta pribadi mandiri.[16]

Dari pengertian tersebut, sungguh dalam al-Qur’an telah menjelaskan, sebagaimana firman Allah:

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[17]

Pada dasarnya aktivitas Pendidikan Islam di Negara ini – Indonesia– sudah mengalami pengembangan sejak sebelum Negara ini merdeka , sebagaimana kita melihat sekarang berbagai macam Pendidikan Pesantren, Madrasah, umum yang bernuansa Islam, dan adanya pelajaran Agama Islam diberbagai sekolah dan perguruan tinggi.

Namun dalam kehidupan sekarang ini dirasakan adanya keprihatinan terhadap dunia pendidikan. Usaha untuk mencari paradigma baru pendidikan Islam tidak pernah berhenti sesuai dengan tantangan zaman yang terus berubah dan berkembang. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pemikiran mencari paradigma baru, selain harus mampu membuat konsep yang mengandung nilai-nilai dasar dan strategis yang progresif dan antisipatif, mendahui perkembangan masalah yang akan hadir di masa datang, juga harus mampu mempertahankan nilai-nilai dasar yang benar dan diyakini untuk terus dipelihara dan dikembangkan,

2. Pola Pengembangan Pendidikan Islam

Para pemikir dan pengembang pendidikan pada umumnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa model dalam pengembangan pendidikan Islam, yaitu:

Model Dikotomis

Pada model ini, aspek kehidupan dipandangan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non agama, pendidikan keislaman dengan nonkeislaman, demikian seterusnya.[18]

Pandangan semacam itu akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dari kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garapan bidang pendidikan nonagama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan, yaitu istilah pendidikan agama dan nonagama. Sikap dikotomi (dualisme) ini terkait erat dengan world view umat Islam dalam memandang dan menempatkan dua sisi ilmu, yaitu ‘ilm al-dînîyah dan ‘ilm ghair al-dînîyah.[19]

Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.

Pola dikotomi yang demikian, telah menimbulkan sejumlah efek negatif. Abdurrahman Mas’ud dalam salah satu penelitiannya sebagaimana dikutip Ma’arif menunjukkan bahwa cara pandang yang dikotomik tersebut akhirnya telah membawa kemunduran dalam dunia pendidikan Islam. Di antaranya adalah menurunnya tradisi belajar yang benar di kalangan muslim, layunya intelektualisme Islam, melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotomik, kemiskinan penelitian empiris serta menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam.[20]

Model Mekanisme

Model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Demikian juga dalam proses pendidikan dibutuhkan sistem nilai agar dalam pelaksanaannya berjalan dengan arah yang pasti, karena berpedoman pada garis kebijaksanaan yang ditimbulkan oleh nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas kecerdasan dan sebagainya. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya kadangkadang bersifat horizontal-lateral (independent) atau bersifat lateralsekuensial, tetapi tidak sampai pada vertikal linier.[21]

Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran yang lain termasuk pengembangan nilai insani yang mempunyai relasi vertikal linier dengan agama.

Dalam konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah olah hanya merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang lain mengajarkan ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan. Dampak berupa gejala kegersangan batin dan kejiwaan modern adalah konsekuensi dari hal itu. Bahkan pendidikan di dunia muslim pun berurat berakar mengadopsi konsep sekuler yang dikotomis dan tidak utuh.

Model tersebut tampak dikembangkan pada sekolah yang di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Kebijakan ini sangat prospektif dalam membangun watak, moral dan peradaban bangsa yang bermartabat. Namun demikian, dalam realitasnya pendidikan agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di sekolah pun kadang-kadang terhambat karirnya untuk menggapai jabatan fungsional tertinggi, karena tidak tersedia program studi sebagai induknya.

Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah yang cukup puas hanya mengembanhkan pola relasihorizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial.Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.

Model Organism/Sistemik

Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.[22]

Pandangan tersebut menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al- Sunnah al-Shahîhah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai ilahi/agama.[23]

Nilai ilahi dalam aspek teologi tak pernah mengalami perubahan, sedangkan aspek amaliahnya mungkin mengalami perubahan sesuai dengan tututan zaman dan lingkungan. Sebaliknya nilai insani selamanya mengalami perkembangan dan perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Tugas pendidikan adalah memadukan nilai- nilai baru dengan nilai-nilai lama secara selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru.

Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.

Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: pertama, sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai pembinaan warga negara yang cerdas berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki ke siapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.

Maka dari itu, model organisme/sistemik dapat diimplementasikan dalam pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah, mengingat kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatankegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Penddikan Islam, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2006).
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010).
Fahri Hamzah, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, Cet.II, Jakarta: Faham Indonesia,2011).
Fuad fachruddin, Agama dan Pendidikn Demokrasi,( Jakarta: pustaka Alvabet, 2006).
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
I.R. Poedjawajatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat Ilmu ( Jakarta: Bina Aksara, 1983).
Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, Cet.II, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007).
https://islamqa.info/ar/95897, diakses pada tanggal 12 Oktober 2017.
Q.S al-Hujurat ayat 13
Q.S Al-Mujadalah ayat 11
Q.S al-Nisa’ ayat 1
Q.S al-Rum ayat 22

[1] Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Penddikan Islam, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2006), 152.
[2] Fuad fachruddin, Agama dan Pendidikn Demokrasi,( Jakarta: pustaka Alvabet, 2006), 25-26.
[3] Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Vebrianto yang dikutip oleh Ramayulis dalam bukunya. Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 324-326.
[4] Hadits ini dari Anas bin Malik dan di shohihkan oleh Ibnu Majjah Menurut Al-Bani. Namun menurut Imam Ahmad dan para Muhadditsin lama, hadits tersebut adalah dhoif (lihat https://islamqa.info/ar/95897, diakses pada tanggal 12 Oktober 2017).
[5] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 260.
[6] bentuk demokrasi tersebut yang dimaksud adalah kebebasan bagi pendidik dan peserta didik baik dari segi kebebasan berkarya, kebebasan dalam mengembangkan potensi, dan kebebasan dalam berpendapat. Adapun persamaan yang dimaksud adalah persamaan terhadap peserta didik dalam pendidikan Islam yakni peserta didik mendapatkan pendidikan atau belajar tanpa membedakan drajat atau martabat, dan yang dimaksud dengan penghormatan disini adalah penghormatan akan martabat individu dalam pendidikan Islam yakni menunjukkan seseorang memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya sendiri, misalnya pendidik dalam memberikan hukuman kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Lihat Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 333-335.
[7] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, 260-262
[8] Pandangan tersebut menurut Kymlika yang dikutip dalam bukunya Fahri Hamzah. Lihat Fahri Hamzah, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan, Cet.II, Jakarta: Faham Indonesia,2011), 117
[9] Ibid,.
[10] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, Cet.II, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 50.
[11] Q.S al-Nisa’ ayat 1
[12] Q.S al-Rum ayat 22
[13] Q.S al-Hujurat ayat 13
[14] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi, 54.
[15] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 47.
[16] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 281.
[17] Q.S Al-Mujadalah ayat 11
[18] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…, 60.
[19]Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif, sedangkan sains meneropongnya dari segi obyektifnya. Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Karena agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang ghaib sedangkan sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris. Lihat I.R. Poedjawajatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat Ilmu ( Jakarta: Bina Aksara, 1983), 62-73.
[20] Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 15.
[21] Muhaimin, Rekontruksi Pendidikan Islam…, 43
[22] Ibid, 67.
[23] Ibid,.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus