7 Dakwah Kultur Yang Dilakukan KH. Ahmad Dahlan
Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah
yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu
pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara
Islam dan politk atau Islam dan Negara.[1] Dakwah kultural hadir untuk mengukuhkan
kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara
memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai. Dakwah
kultural tidak menganggap power politik sebagai satu-satunya alat perjuangan
dakwah.
Dakwah kultural menjelaskan, bahwa dakwah itu sejatinya adalah membawa
masyarakat agar mengenal kebaikan universal, kebaikan yang diakui oleh semua
manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu.[2]
Dalam
dakwah kultur KH. A. Dahlan sebagaimana beliau terlibat aktif dalam sistem
kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang, dan prestasi
duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi
sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah
dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. KH. A. Dahlan bisa
dipastikan tidak pernah membaca karya Max Weber yang belum pernah berkunjung ke
negeri ini. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan
dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai ”insiden
sosiologis” sunnatullah atau hukum alam.
Gagasan
dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci,
temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya
adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman
beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan
umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. Sikap K.H. A. Dahlan
dipraktekkan dalam misi dahwahnya untuk mengubah arah kiblat masjid-masjid
Yogyakarta termasuk Masjid Kerathon yang dinilainya tidak tepat, dan kaena itu
perlu diubah arahnya.
KH.
A. Dahlan tidak serta merta menyuruh mengubah arah kiblat secara sepihak.
Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran
dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut KH. A.
Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.
Haji
Majid, seorang murid K.H. KH. A. Dahlan menuliskan pengalamannya dalam risalah
singkat Falsafah Ajaran K.H. KH. A. Dahlan. Setidaknya ada tujuh dakwah kutur
KH. A. Dahlan yaitu:
Pertama;
Mengutip perkataan al-Ghazali, K.H. KH. A. Dahlan mengatakan bahwa manusia itu
semuanya mati (perasaannya) kecuali para ulama yaitu orang-orang yang berilmu.
Dan ulama itu senantiasa dalam kebingungan kecuali mereka yang beramal. Dan
yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan
bersih.
Kedua;
Kebanyakan mereka di antara manusia berwatak angkuh dan takabur. Mereka
mengambil keputusan sendiri-sendiri. K.H. KH. A. Dahlan heran kenapa pemimpin
agama dan yang tidak beragama selalu hanya beranggap, mengambil keputusan
sendiri tanpa mengadakan pertemuan antara mereka, tidak mau bertukar pikiran
memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya anggapan-anggapan
saja, disepakatkan dengan istrinya, disepakatkan dengan muridnya, disepakatkan
dengan teman-temannya sendiri. Tentu saja akan dibenarkan. Tetapi marilah
mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di luar golongan masing-masing
untuk membicarakan manakah yang sesungguhnya yang benar dan manakah
sesungguhnya yang salah.
Ketiga;
Manusia kalau mengerjakan pekerjaan apapun, sekali, dua kali, berulang-ulang,
maka kemudian menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai.
Kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk dirubah. Sudah menjadi tabiat bahwa
kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik dari sudut
i’tiqat, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah
sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya
bahwa apa yang dimilikinya adalah benar.
Keempat;
Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus sama-sama
menggunakan akal pikirannya untuk memikirkan bagaimana sebenarnya hakikat dan
tujuan manusia hidup di dunia. Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk
mengoreksi soal i‘tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya,
mencari kebenaran yang sejati.
Kelima;
Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam
membaca beberapa tumpuk buku dan sudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang,
membanding-banding ke sana ke mari, barulah mereka dapat memperoleh keputusan,
memperoleh barang benar yang sesungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat
mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar. Sekarang kebiasaan
manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena
khawatir, kalau barang yang benar, akan terpisah dan apa-apa yang sudah menjadi
kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya.
Keenam;
Kebanyakan para pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya
untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah
pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang
bodoh-bodoh dan lemah.
Ketujuh;
Ilmu terdiri atas pengetahuan teori dan amal (praktek). Dalam mempelajari kedua
ilmu itu supaya dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum bisa
mengerjakan maka tidak perlu ditambah.
Bagi
KH. A. Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan hidup
pemeluknya, kecuali dipraktikkan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut
Dahlan, jika tidak dipraktikkan, tak bakal bisa mencapai tujuan bersama. Karena
itu, KH. A. Dahlan tak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tapi
ia lebih banyak mempraktekkannya dalam amal nyata.
Tafsirnya
KH. A. Dahlan atas surat Ali ’Imran Ayat 104, basis teologis organisasi modern
sebagai instrumen ritus dan pemecahan problem kehidupan manusia, tidak dtemukan
dalam tafsir klasik.
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran; 104).[10]
Demikian
pula tafsir surat Al-Ma’un sebagai referensi aksi pemberdayaan kaum tertindas
atas pertimbangan pragmatis dan humanis, seperti aksi pemberdayaan kaum
perempuan di ruang publik.
Artinya
: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, Itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.
Kecenderungan
ideologisasi tafsir Salafi di atas bisa dilihat dari tumpang tindih ajaran
Islam otentik dan ajaran Islam sebagai tasfir tersebut. Keyakinan kebenaran
mutlak dan kesempurnaan ajaran Islam kemudian diterapkan pada tafsir Salafi
yang dikukuhkan melalui hierarki kekudusan sejarah yang menempatkan generasi
sahabat lebih kudus dan lebih benar dari generasi tabi’in (pascasahabat) dan
seterusnya.
[1] Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Kajian
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
h. 34
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.