Skip to main content

Kajian Hukum Islam Terhadap Terpidana Pejabat Negara Sebuah Prolog


Lembaga legislative adalah lembaga yang ditetapkan untk membuat peraturan perundang-undangan, tetapi sudah barang tentu berbeda bentuknya pada masing-masing Negara. Di Indonesia, lembaga tersebut dinamakan dengan DPR Republik Indonesia (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia) untuk tingkat pusat dan DPRD (Dewan Perwakilan Daerah) untuk tingkat daerah, baik tingkat I maupun tingkat II.[1] 

Setiap masa (periode) pemerintahan, performance lembaga legislative selalu diwarnai permasalahan yang tidak seharusnya dilakukan sebagai wakil rakyat, seperti misalnya perbuatan KKN, tindakan asusila, money politic, pemalsuan ijazah saat pencalonan dan lain-lain. Seharusnya demi menegakkan etika dan moralitas, seorang elit politik pada partai politik sudah sepatutnya memberikan pernyataan politik kepada konstituennya demi mendukung upaya penegakan hokum. Karena pada sisi lain partai politik sering menutupi kesalahan yang dilakukan oleh kadernya, terutama calon legislative yang notabene adalah penyampai aspirasi masyarakat.
Keberadaan suatu partai politik dapat dilihat dari kemampuan partai tersebut malaksanakan fungsinya. Salah satu fungsi yang terpenting yang dimiliki partai politik adalah fungsi rekrutmen politik. Seperti yang diungkapkan oleh pakar politk, Ramlan Surbakti, bahwa rekrutmen politik mencakup pemilihan, seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam system politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Untuk itu partai politik memiliki cara tersendiri dalam melakukan perkrutan calon anggota legislative, terutama dalam pelaksanaan system dan procedural perekrutan yang dilakukan partai politik tersebut. Tak hanya itu, proses rekrutmen juga merupakan fungsi mencari dan mengajak orang-orang yang memiliki kemampuan untuk turut aktif dalam kegiatan politik, yaitu dengan cara menempuh berbagai proses penjaringan, yang nantinya akan diusung sebagai calon legislatif.[2]
Sebelum seorang calon anggota legislatif diajukan kepada KPU, semestinya partai politik terlebih dahulu melakukan rekrutimen atau penyeleksian terhadap calon legislatif, baik penelitian terhadap persyaratan adminitrasi yang mencakup legalitas dari penilaian ijazah/ STTB, kesehatan, maupun keterangan bebas hokum.
Pemilu dan perekrutan dikerjakan di tengah struktur massa menganmbang yang kurang terdidik dan kritis, rentan terhadap praktik – praktik mobilisasi. Meski saat ini merupakan era keterbukaan, bukan berarti pendidikan politik menjadi agenda utama parpol. Akibatnya, budaya politik yang partisipatif tak kunjung terbangun. Kondisi itu tak memungkinkan terjadinya perekrutan secara terbuka dan partisipatif.
Dengan adanya UU nomer 10 tahun 2008, telah terjadi perdebatan di kalangan masyarakat awam, pelaku politik dan juga para pengamat politik. Terutama pada BAB IV pasa 50 ayat g, di sini menyangkut perihal eks narapidana menjadi anggota legislatif.[3]
Dalam konteks awam, eks narapidana adalah masyarakat yang telah cacat moral tetapi ada juga yang beranggapan bahwa eks narapidana belum tentu orang yang cacat moral seperti yang terjadi dalam anggapan masyarakat awam. Dalam konteks ini orang yang beranggapan bahwa mereka bukan orang yang cacat moral berupaya melakukan kajian UU ke MK agar pasal itu lebih diperjelas.
Terobosan baru dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan keputusannya yang membolehkan mantan narapidana (napi) dalam kasus kejahatan politik dan kealpaan ringan menjadi pejabat politik.
Ini langkah maju dalam proses pembangunan hokum dan perkembangan demokrasi di negeri kita. Sebelumnya, napi kasus kejahatan politik (napol) dan kealpaan ringan dengan ancaman hukuman di atas lima tahun telah dicabut hak-hak politiknya.[4]
Logika hokum sebenarnya menyiratkan mantan napi mempunyai hak yang sama dengan warga Negara lainnya. Artinya seseorang yang sudah menjalani hukuman karena tersangkut tindak pidana sma saja telah melunasi kesalahannya. Apalagi sekarang kita tak mengenal lagi penjara. Istilah penjara telah lama dihapus, kemudian diganti dengan lembaga pemasyarakatan (Lapas), sebuah institusi yang membina para napi ke jalan yang benar. Ini dikandung maksud bahwa mereka yang telah keluar dari Lapas berarti telah lulus menjalani proses permasyarakatan. Sehingga kehadirannya di tengah masyarakat sebagai warga yang sudah bersih, tanpa cacat dan cela sebagaimana sebelum tersangkut tindak pidana.
Dengan kata lain, mereka pun mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk hak politiknya untuk menjadi pejabat publik. Yang menjadi pertanyaan mengapa hanya mantan napol dan kasus kealpaan ringan yang dibolehkan mencalonkan diri dalam pilkada dan pilpres?. Mengapa tidak semua mantan napi diperlakukan sama? Jawabannya cukup beragam.
Sejumlah pakar berpendapat mestinya keputusan MK ini diberlakukan kepada semua mantan napi tanpa terkecuali. Alasannya, mereka yang sudah menjalani hukuman berarti sudah bebas dari segala kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Mereka telah  melunasi utang atas kesalahan yang diperbuatnya. Menjadi tidak adil, jika sama – sama mantan napi, tetapi hak politiknya diperlakukan tidak sama. Dari aspek hokum dan hak asasi manusia memang terdapat perlakuan diskriminasi, tetapi ada factor lain yang perlu diperhatikan, jika dikaitkan dengan jabatan publik.
Ketentuan yang mempersyaratkan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Walau begitu terdapat persyaratan yaitu sepanjang ketentuan dimaksud diartikan tidak mencakup tindak pidana yang lahir karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan politik tertentu, serta dengan mempertimbangkan sifat jabatan tertentu yang memerlukan persyaratan berbeda.
Sedangkan dalam islam banyak dijelaskan secara global bahwa sesorang (khalifah) pemimpin harus terhindar dari dua permasalahan kemaksiatan yang perlu dihindari, yaitu mengikuti syahwat dan ini berhubungan dengan perbuatan anggota badan, yaitu melakukan yang dilarang dan memperbuat yang mungkar menurut syahwat dan hawa nafsu seperti zina, qadzaf. Dan yang berhubungan dengan itikad yang ditakwilkan.
Kata khalifah sendiri sangat banyak ditemukan dlam al-Qur’an dengan istilah yang berbeda – beda dan memiliki pengertian serta hubungan dengan kepemimpinan diantaranya :
·         Istilah khalifah dalam surat al-baqarah[5]
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"

·         Istilah ulil amri dalam surat an-nisa’[6]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

·         Istilah wali dalam surat al-ma’idah[7]
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥
Artinya: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)
Al Mawwardi mendfinisikan iman adalah khalifah, raja, sultan kepala Negara. Dan dengan demikian ia memberikan baju agama kepada jabatan kepala Negara disamping juga baju politik.
Kepemimpinan didalamnya dikenal dasar-dasar konseptual sebagai landasan filosofis kepemimpinan, selanjutnya berkembang dengan karakteristik dan kekhasannya masing – masing.
Fenomena eks terpidana menjadi pejabat Negara dalam kontks Indonesia menjadi sangat menarik, jika dikaitkan dengan buku – buku fiqhu as-syiasah klasik. Dalam pandangan masyarakat bahwa eks terpidana adalah orang “najis” atau “sampah masyarakat”. Bagaimana jika eks terpidana menjadi pejabat Negara atau publik.
Hampir tidak ada di dalam al-qur’an dan al-hadits ataupun literatur dalam buku – buku fiqhu as-syiasah klasik yang mencantumkan eks terpidana menjadi pejabat Negara. Bagaimana pandangan hokum islam tentang status eks terpidana menjadi pejabat Negara ataupun publik.


[1] Inu Kencana Safi`I, Syistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1994), hal.59
[2] http://www.media.com/Pengankatan-Mantan-Terpidana-Korupsi-Jadi-Pejabat-Diprotes.htm
[3] http://Ditemukan_Eks_Terpidana_Korupsi_Jadi_Caleg.htm
[4] http://www.fajartv.com/read-20111019193421-bupati-masih-pakai-mantan-napi.htm
[5] Al-baqarah (2) ayat 30
[6] An-nisa’ (4) ayat 59
[7] Al-ma’idah (5) ayat 55

PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus