Skip to main content

Hakikat Manusia dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

Hakikat Manusia dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
www.azid45.web.id - Hakikat Manusia dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam. Manusia dalam bahasa Inggris disebut man, asal kata dari bahasa Anglo-Saxon yaitu mann. Arti dasar dari kata dapat dikaitkan dengan mens (Latin) yang berarti ada yang berpikir.[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia manusia diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk yang lain).[2]

Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda, yaitu:

1. Konsep al-Basha>r

Kata al-Basha>r dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat.[3]

Secara etimologi al-Basha>r juga diartikan mula>masah. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasan.

2. Konsep al-Insa>n

Kata al-Insa>n yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.[4] Secara etimologi, al-Insa>n dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti pergerakan atau dinamisme. Merujuk pada asal kata al-Insa>n dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual.[5]

3. Konsep al-Na>s

Kata al-Na>s dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-Na>s di al-Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.[6]

4. Konsep Bani Adam

Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam al-Qur’an. Manusia disebut dengan Bani Adam karena manusia merupakan keturunan dari Nabi Adam.[7]

Menurut al-Qur’an ialah bahwa hakikat manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiganya penting untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.[8]

Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya menambahkan bahwa hakikat manusia dapat dilihat dari beberapa segi, diantaranya:


  • Manusia sebagai makhluq berfikir.[9]
  • Manusia sebagai makhluq yang berkepribadian utuh.[10]
  • Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.
  • Manusia sebagai makhluq individu dan sosial.[11]


Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ah{san at-taqwi>m dan merupakan manusia pada posisi yang strategis, yaitu Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khali>fah fi al-ard}).[12]

Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).[13]

Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.

Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).

Adapun hakikat manusia dalam pandangan UU Sisdiknas dapat dilihat dalam pasal 33 Bab II Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003, yang berbunyi:

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[14]

Meskipun pada pasal ini berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional, akan tetapi kriteria manusia yang dicita-citakan tidak terlepas dari pandangannya tentang manusia itu sendiri.

[1] Heris Hermawan, Filsafat ..., 48.
[2] kbbi.web.id/manusia.
[3] Ibid. Heris, Filsafat ..., 53.
[4] Ibid.
[5] Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 21.
[6] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Vol. I (Yogyakarta: Jendela, 2002), 69.
[7] Ahmad Tafsir memasukan Bani Adam sebagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Meskipun kenyataannya menunjukan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda. Manusia dan Nabi pertama yang diciptakan Allah Swt adalah Adam as dijuluki sebagai abu> al bashar (nenek moyang manusia). Lihat: Heris, Filsafat …, 54.
[8] Menurut konsep yang diusung oleh ibnu khaldun, manusia merupakan makhluq utuh yang berdimensi jasmani dan rohani saja, sedangkan rohani tersebut telah mencakup tiga unsur pokok yaitu: ru>h, ‘aql dan nafs. Lihat Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun “Kristis, Humanis dan Religius” (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012), 122.
[9] Dalam hal ini terdapat Tiga jenjang yang distingtif dalam berfikir, yaitu al-‘aql al-tamyi>zi>, al-tajri>bi> dan al-naz{ari>.
[10] Menurut ahli psikologi terdapat tiga aspek didalamnya, yaitu: fisik (organisme), psikis (hakikat) dan psikofisik (akhlaq/perbuatan).
[11] Ibid., 55.
[12] Lihat al-Ti>n: 4. Artinya: “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
[13] Anas Salahuddin, Filsafat …, 23.
[14] www.kemdikbud.go.id (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus