Skip to main content

Hubungan Relevansi Antara Islam dan Budaya Menurut Geertz

Hubungan Relevansi Islam dan Budaya Menurut Geertz

www.azid45.web.id - Hubungan Relevansi Antara Islam dan Budaya Menurut GeertzPara ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata pendekatan nyata yang biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi. Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji.[1] Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut pandang atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah, mendefinisikan konsep kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.

Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan manusia adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya serta mendorong menghasilkan tindakan-tindakan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka.

Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau memilah-milah, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.

Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori:

1) Yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini biasanya dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View.

2) Yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang sama-sama mereka pahami, maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Kebudayaan sebagai pengetahuan tentang dunia disekelilingnya akan relatif mudah berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya. Tetapi kebudayaan sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.

Konsep mengenai kebudayaan yang di kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mengkaji serta memahami agama.atau dalam kata lain di sinilah agama merupakan sistem budaya. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan yaitu sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sedangkan agama yang dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan oleh sebuah masyarakat, maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang hanya sebatas yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.[2]

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada tersebut.

Bila agama telah menjadi sistem dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata,prilaku yang ada dalam masyarakat itu Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain atau yang berbeda dari pembahsan tersebut, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja. Apa gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama.

Dalam penelitian kali ini, peneliti menggunakan pendekatan yang telah dicetuskan oleh “Clifford Geertz”, yaitu “Pendekatan Interpretatif Terhadap Agama”. Dalam pendekatan ini, Geertz terfokus pada unsur-unsur yang terdapat dalam budaya. Aspek atau unsur terpenting dalam budaya adalah agama.

Menurut Geertz, agama merupakan pattern for behaviour atau pola tindakan. Agama disini dianggap sebagai bagian dari sistem kebudayaan yang membekali manusia atau sebagai dasar manusia dalam melahirkan tindakan dan perilaku kesehariannya. Pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem evaluatif, dan pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau sistem pengetahuan manusia. Hubungan antara pola bagi dan pola dari tindakan itu terletak pada sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan.[3]

Aspek-aspek teoritis pendekatan interpretatif terhadap agama, dijelaskan Geertz pada salah satu esai yang dimuatnya kembali dalam The Interpretation of Cultures (1973), yang bertajuk Religion as a Cultural System (1966). Geertz memulai esai tersebut dengan menyatakan bahwa ia tertarik pada “dimensi kebudayaan” dalam agama. Menurutnya dalam satu kebudayaan terdapat ‘sistem-sistem budaya’ yang salah satunya adalah agama, yang akan terlihat ketika Geertz mendefinisikan tentang agama.

Bagi Geertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan kebudayaan; dan bersamaan dengan itu agama juga mencerminkan keteraturan tersebut.[4]

Agama dan budaya memiliki hubungan saling keterkaitan yakni salah satunya terletak pada sifat dan asal-usul kepercayaan keagamaan, hubungan logis dan historis antara mitos, kosmos dan ritus.[5] Hal yang sama juga diungkapkan Frazer, baginya agama adalah sistem kepercayaan yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tingkat kognisi seseorang.

Suparlan menyatakan bahwa pada hakikatnya agama adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol atau suatu simbol pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu atau merangkaikan dan menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya. Namun demikian, ada perbedaannya bahwa simbol agama adalah simbol suci.[6]

Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari kebudayaan. Beliau menyimpulkan bahwa komponen system kepercayaan, system upacara dan kelompok-kelompok religious yang menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religious, jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia.[7]

[1] Syaifuddin, Fedeani., 1988. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali,65
[2] Koentjaraningrat, 1988. Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhratara, 73
[3]Clifford Geertz, Agama dan Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 8-9
[4]Ibid, Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, 90
[5]Nuruddin, dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger (Yogyakarta: LkiS, 2003),126
[6]Nur Syam, Islam Pesisir(Yogyakarta: LkiS, 2005), 16
[7]Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi(Jakarta: UI, 1964), 79
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus