Sejarah Ilmu Balaghah
www.azid45.web.id - Sejarah Ilmu Balaghah. Kedudukan al-Qur`an sebagai mukjizat Nabi kaum Muslimin sekaligus landasan dan pedoman hidup bagi mereka menjadikan al-Qur`an seperti permata yang sangat mahal dan berharga bagi setiap kaum Muslimin, atau bahkan lebih dari itu.
Tingginya kedudukan al-Qur`an tersebut, itulah yang menjadi faktor pendorong mengapa kaumMuslimin sangat peduli dan memperhatikan al-Qur`an. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah upaya mereka untuk melestarikan bahasa al-Qur`an, dengan tujuan agar anak cucu mereka, generasi-generasi Muslim selanjutnya, dapat memahami bahasa al-Qur`an dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya mereka menyusun ilmu Nahwu (dan sharaf) sebagai alat yang membantu mereka untuk membaca al-Qur`an dengan baik, dan membuat ilmu fiqhlughah untuk menerangkan ke-arab-an kata-katanya dan kefashihan teksnya.
Meski bahasa al-Qur`an adalah bahasa Arab, yaitu bahasa yang sama yang digunakan oleh bangsa Arab saat itu, akan tetapi bahasa al-Qur`an -karena rahasia tertentu- kualitas sastranya tidak sama dengan bahasa Arab biasa yang digunakanoleh bangsa Arab pada umumnya atau bahkan oleh para ahli sastranya sekalipun. Bahasa al-Qur`an jauh lebih tinggi kualitas dan keindahannya tidak bisa disamai atau ditiru oleh manusia manapun. Meskipun pada masa itu bangsa Arab adalah bangsa yang dikenal dengan ahlul Fashahah, bangsa yang sangat kental dengan budaya bersyair, bersajak, dan berorasi yang kesemuanya mengandalkan kefashihan bahasa dan lisan.
Soal I’Jaz al-Qur’an sebagai cikal bakal ilmu Balagah
Inilah yang disebut i’jaz dalam al-Qur’an. I’jaz yang dari sisi bahasa berarti melemahkan atau membuat orang tidak mampu. Dalam hal ini bisa diartikan bahwa i’jaz adalah sebuah kelebihan yang dimiliki oleh al-Qur’an yang tidak bisa ditandingi dengan karya lain atau bahkan ditirupun tidak bisa.
Kemudian yang menjadi persoalan, apakah yang menjadi rahasia i’jaz atau kemukjizatan al-Qur`an yang membuat seluruh manusia tidak mampu untuk membuat karya semisalnya? Persoalan inilah yang mendorong para ulama saat itu untuk mengkaji lebih jauh kandungan al-Qur’an dan memaksa mereka untuk menemukan alat atau ilmu lain untuk menyingkap rahasia kemukjizatan al-Qur`an ini.Meningat bahwa ilmu bahasa atau ilmu al-Qur’an yang sudah ada pada saat itu, yaitu Nahwusharafdan fiqh lughah,kedua alat itu saja tidak cukup menjawab persoalan ini, mengingat bahwa nahwu ranahnya hanyalah pembahasan seputar bangunan kata dan harakatnya, sedang fikihlughah hanya berkutat pada pembahasan mufradatdari sisi makna dan kearabannya, sementara kemukjizatan al-Qur`an terletak ada nashnya (teks).
Sejak al-Qur’an turun, al-Qur’an benar-benar menjadi pusat perhatian para ulama Arab. Sehinga dari al-Qur’an muncul berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, nahwu sharaf, naqad dan sebagainya. Terlebih lagi setelah Islam menyebar dan meluas ke wilayah-wilayah bangsa lain yang memiliki bahasa dan tradisi keilmuan yang beragam seperti persia, dan beberapa wilayah bekas jajahan Romawi. Seiring dengan pergesekan antara budaya dan tradisi keilmuan ini, muncullah berbagai persoalan dan tantangan pada kaum Muslimin seputar masalah-masalah keislaman atau tentang al-Qur’an itu sendiri. Salah satu persoalan yang muncul saat itu adalah sebuah persoalan yang dilontarkan oleh para pemeluk Islam baru yang menanyakan tentang kemukjizatan al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki sifat i’jaz tidak lain karena al-Qur’an menggunakan uslub penyampaian bahasa yang berbeda dengan uslub Arab atau dengan kata lain al-Qur’an itu bukan bahasa Arab secara uslub meski bahasa Arab secara kosakata. Persoalan semacam ini menggelitik ulama sekaliber Abu Ubaidah (W 207 H) untuk mengarang kitab “Majaz al-Qur’an” yang menjelaskan cara-cara atau uslub penyampaian al-Qur’an bahwa uslub yang dipakai al-Qur’an adalah uslub-uslub yang dipakai oleh orang-orang Arab itu sendiri dengan menghadirkan bukti berupa syair dan sajak yang diriwayatkan dari para pujangga Arab yang ternama.
Setelah persoalan ini terjawab, kembalilah persoalan yang pertama. Jika bahasa al-Qur’an menggunakan uslub yang sama dengan apa yang digunakan oleh bansa Arab, lantas dimanakah letak i’jaz al-Qur’an itu?
Persoalan ini benar-benar menarik perhatian para Ulama sehingga mereka berpikir keras dan mengadakan banyak diskusi dan perdebatan seputar persoalan ini. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur`an tidak lain karena kehendak dan kekuasaan Allah yang menghalangi atau melemahkan manusia untuk membuat karya yang serupa dengan al-Qur`an, atau dengan kata lain kemukjizatan al-Qur`an tidak terletak pada al-Qur`an itu sendiri akan tetapi kemukjizatannya adalah hasil rekayasa Allah yang melemahkan manusia untuk membuat karya seperti al-Qur`an. Pendapat ini biasa dikenal dengan istilah “as-sharfah”.
Sebagian lagi mengatakan bahwa i’jaz itu ada karena al-Qur’an memberikan informasi-informasi tentang kejadian di masa yang mendatang kemudian informasi-informasi itu benar-benar terjadi. Dan manusia tidak mungkin bisa membuat kitab yang seperti itu.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa i’jaz tersebut disebabkan karena al-Qur’an mengandung syariat yang kekal yang cocok dan relevan digunakan manusia hingga akhir zaman.
Sementara sebagian besar ulama yang teliti berusaha mengembalikan kemukjizatan itu pada ke-balaghah-an atau gaya bahasa yang memukau yang ada dalam al-Qur’an, dimana setiap kata dalam al-Qur’an tampak sangat sempurna berada di tempatnya dan memiliki pengaruh pada diri pembaca dan menyentuh hati. Akan tetapi pada awalnya mereka hanya mengataka itu, tanpa menjelaskan sebab ke-balaghah-an bahasa Qur’an tersebut. Sehinga mereka mengatakan, “kebalaghan Qur’an adalah sesuatu yang bisa diketahui tanpa bisa di identifikasi mengapa, bisa dirasa tapi tidak bisa dideskrpsikan.”
Akan tetapi, sebagian ulama belum merasa puas dengan hanya menyandarkan i’jaz Qur’an pada keputusan dzauq semata. Mereka memandang perlu adanya penjelasan yang lebih detail dan lebih gamblang. Dari situ, mereka terus meneliti dan mencari sebab dan rahasia kebalaghan al-Qur’an, sehingga mereka gencar meneliti dan mengupas uslub-uslub al-Qur’an.
Dalam hal ini tercatat beberapa ulama telah mengarang kitab dengan tema “Ma’aany al-Qur’an” seperti, Wasil bin Atha, al-Kasa’iy, al-Akhfasy, Ru’asy, Yunus bin Habib, Qathraba an-Nahwy, al-Farra, Abu Ubaidah, Al-Mubarrid, Ibnu al-Anbary, dan az-Zajjaj. Penelitian dan kajian ini merupakan faktor terbesar yang mendorong lahirnya ilmu balaghah.
Kemudian, al-Jahidz (W 355 H) mengarang kitab “Nazham al-Qur’an”. Meskipun kitab ini tidak sampai kepada kita, akan tetapi para ulama banyak memuji karyanya yang satu ini. Tidak bisa diketahui secara pasti apa saja yang ditulis oleh al-Jahidz dalam kita “Nazham al-Qur’an”, akan tetapi setidaknya kita dapat membaca dalam risalah-risalah-nya yang sampai kepada kita bahwa al-Jahidz berpendapat bahwa al-Qur’an kemukjizatannya terletak pada nazhamnya. Meski juga ada yang mengatakan bahwa al-Jahidz berpendapat ‘Sharfah’ dalam hal i’jaz al-Qur’an, akan tetapi menurut Abdul Qadir Husain bahwa ‘Sharfah’ yang dimaksud al-Jahidz adalah bahwa para ahli balaghah Arab berusaha sekuat tenaga untuk membuat karya yang menyamai al-Qur’an tapi kemudian mereka berutus asa, lalu mereka pergi meninggalkan upaya mereka tersebut.
Ibnu Qutaibah (W 276 H) -salah seorang ulama besar dan ternama di zamannya- juga mengarang kita “Ta’wil fi musykil al-Qur’an”, beliau mengarang kitab ini untuk menerangkan uslub-uslub yang sulit dipahami dari al-Qur’an yang sering dijadikan tuduhan bahwa nazham al-Qur’an tidak rapih atau tidak bagus.
Setelahnya datang al-Baqilaany (W 403) dengan kitabnya “I’jaz al-Qur’an”, selain menjelaskan tentang kemukjizatan al-Qur’an, ia juga menolak pendapat ulama yang datang sebelumnya, yaitu ar-Rummaany, yang berpendapat bahwa kebalaghaan itu juga bisa dimiliki oleh satu tasybih atau jenis badi’ yang lainnya. Menurutnya al-Baqillaany kebalaghan atau kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada nazham-nya.
Demikian lah persoalan i’jaz ini membuat sibuk para ulama, sampai seorang Abu Hilal al-Askary mengarang kitabnya “as-Shina’atain”. Dalam kitab ini juga ia menegaskan bahwa letak i’jaz al-Qur’an terletak pada nazhamnya. Samapi pada abad 5 H muncullah Abdul Qahir al-Jurjany dengan dua karyafenomenalnya yaitu kitab “Dalaail al-i’jaz” dan kitab “Asrar al-Balaghah”. Al-Jurjany dalam kitabnya menegaskan bahwa kata-kata tidaklah memberikan makna dengan keberadaan dirinya sendiri akan tetapi sebuah makna itu muncul ketika kata-kata itu bersanding satu sama lain membuat sebuah struktur kalimat atau uslub.
Singkat kata, Jawaban para ahli lughah terhadap persoalan di atas adalah cikal bakal munculnya kajian Balaghah yang ditandai oleh muculnya karya Abu Ubaidah dan al-Jahidz yang kemudian digenapkan oleh karya dan pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany.
Oleh karena itu kita menemukan para ulama balaghah merumuskan tujuan dari ilmu balaghah sebagai berikut:
الْوُقُوفُ عَلَى أَسْرَارِ الْبَلَاغَةِ فِي مَنْثُورِ الْكَلَامِ وَمَنْظُوْمِهِ فَنَحْتَذِيَ حَذْوَهُمَا
“Mengetahui rahasia-rahasia balaghah dalam natsr dan syair sehingga kita bisa mencontoh keduanya.”
مَعْرِفَةُ وَجْهِ إِعْجَازِ الْقُرآنِ مِنْ جِهَةِ مَا خَصَّهُ اللهُ مِنْ حُسْنِ التَّأْلِيْفِ، وَبَرَاعَةِ التَّرْكِيْبِ، وَمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنْ عُذُوبَةٍ وَجَزَالَةٍ، وَسُهُوْلَةٍ وَسَلَامَةٍ.
“Mengetahui letak kemukjizatan al-Qur`an yang memiliki kelebihan susunan yang bagus, struktur yang indah, sejuk dan renyah, mudah dan murni.”
Asal Usul Nama Balaghah
Bangsa Arab adalah ahlul Fashahah, sebagaimana yang sering diungkapkan oleh banyak orang. Mayoritas bangsa Arab kala itu benar-benar sangat memperhatikan dan melestarikan budaya sastra, baik syair, prosa, atau orasinya. Sehingga sudah menjadi biasa bagi bangsa Arab kala itu, jika seseorang melantunkan syair di berbagai macam tempat, tidak hanya di sanggar atau pasar sastra, atau acara-acara besar, tapi bahkan pada kejadian-kejadian kecil seperti saat kaki salah seorang tersandung batu, atau sekedar menyendiri mengingat masa lalu, mencurahkan kegalauan, bahkan sampai sekedar berdialog satu sama lain baik dalam keadaan marah ataupun senang, mereka kerap bersyair atau mengungkapkan kata-kata bersajak untuk mengungkapkan ide dan isi hati mereka. Jika dalam hal atau kejadian kecil saja mereka kerap bersyair atau melantunkan syair, maka apatah lagi dalam acara-acara yang bersifat formal atau besar.
Ini paling tidakmemberikan gambaran bahwa betapa kentalnya budaya sastra pada bangsa Arab kala itu. Sehingga bagi mereka, salah satu faktor atau kelebihan yang dapat mendongkrak prestise seseorang adalah kemahirannya dalam mengolah kata atau bersastra. Sehingga sangat bangga sekali jika seorang Arab kala itu dijuluki sebagai orang yang Fashih atau Baligh. Maka tidak heran jika seorang Umar bin Khattab yang secara nasab tidak lebih mulia dari tokoh-tokoh Quraisy yang lain, akan tetapi karena kefashihannya, di masa Jahiliyyah, ia dijadikan sebagai duta kabilah Quraisy.
Maka jauh sebelum Balaghah muncul sebagai ilmu atau pengetahuan, kata balaghah telah dikenal dan akrab di telinga bangsa Arab. Para Ulama klasik atau bangsa Arab secara umum sebelum abad 4 H. acap kali menganggap bahwa balaghah adalah sinonim fashahah, fashahah adalah balaghah dan balaghah adalah fashahah. Keduanya memiliki makna yang sama. bahkan dalam kitab “as-Shihah” karya al-Jauhary dikatakan secara tegas bahwa balaghah adalah fashahah, dan pada saat mereka berbicara tentang fashahah serta syarat-syaratnya, maka yang mereka maksud adalah balaghah.
ini tidak lain karena secara bahasa arti dari kedua kata itu hampir sama. Balaghah bersalah dari بَلَغَ yang berarti sampai, dan الإِبْلَاغُ مَا فِي النَّفْسِ (menyampaikan isi hati) sama artinya dengan الإِفْصَاحُ (yang akar katanya sama dengan fashahah, berasal dari فَصَحَ) yang berarti “menerangkan atau menjelaskan”. Dalam hal ini Abu Hilal al-Askary mengatakan, “Fashahah dan balaghah berujung pada satu makna, meski keduanya berasal dari akar kata yang berbeda, karena keduanya bermakna menerangkan suatu makna dan menjelaskannya.” Dan sebelumnya ia menjelaskan bahwa mengapa balaghah itu disebut balaghah (sampai), karena ia (balaghah) menyampaikan makna ke dalam hati pendengar sehingga pendengar itu mengerti makna tersebut. Bahkan jauh lebih ekstrim dari itu, al-Jahidz mendeskripsikan makna balaghah dengan perkataannya, “Tidaklah suatu perkataan pantas disebut balaghah kecuali jika makna dari perkataan tersebut bisa mendahului kata-katanya, jangan sampai kata-katanya lebih dahulu menyentuh telinga sebelum maknanya sampai ke dalam hati.”
Adapun Ulama balaghah yang mutaakhir mendefinisikan balaghah dengan,
مُطَابَقَةُ الْكَلَامِ مُقْتَضَى حَالِ مَنْ يُخَاطَبُ بِهِ مَعَ فَصَاحَةِ مُفْرَدَاتِهِ وَجُمْلَتِهِ.
“Kesesuaian kalam dengan kondisi orang yang diajak berbicara disertai dengan kefashihan kata-kata dan kalimatnya.”
Jadi dalam pengertian ulama modern, fashahah tidak sama dengan balaghah, akan tetapi hanya bagian dari padanya, sebagai salah satu dari syarat kebalaghahan sebuah kalam.
Sesuai pengertiannya,balaghah tidak bisa dipisahkan dari bahasa, bahkan dalam hal ini fungsi balaghah sama dengan fungsi bahasa, yaitu sebagai alat atau sarana menyampaikan sebuah makna, atau balaghah bisa diartikan sebagai pelengkap dari bahasa untuk membantu bahasa agar tujuannya lebih mudah tercapai.
Perkembangan Ilmu Balaghah
Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi
Secara historis istilah balaghah muncul belakangan. Sebelum ilmu ini dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Ilmu yang membahas tentang ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih ilmu balaghah.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.
Balaghah Pada Fase Kritik Sastra
Sebelum balaghah dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu seperti yang kita ketahui saat ini, balaghah telah melalui sejarah yang cukup panjang untuk sampai pada titik yang kita pelajari saat ini. Menurut Tamam Hasan, Balaghah telah melalui dua fase. Pada fase yang pertama, balaghah bisa dikatakan lebih mirip dengan kritik sastra. Sedang pada fase kedua, balaghah menjadi lebih mirip dengan uslubiyat atau stylistic. Atau juga bisa disebut dengan Madrasah Adabiyah (Madzhab sastra) dan Madrasah kalamiyah (Madzhab ilmu kalam). Sedangkan al-Imam as-Suyuthi menamainya dengan ‘thariqatul ‘arab al-bulagha’ dan ‘thariqatul ‘ajam wa ahlu al-falsafah’.
Fase atau madzhab pertama adalah fase pertama kali lahirnya pembahasan balaghah, sebagaimana yang telah penulis singgung pada mukaddimah bahwa munculnya pembahasan balaghah adalah respon dari persoalan bagaimana mengetahui rahasia kemukjizatan al-Qur`an dan bagaimana agar seseorang dapat mengapresiasi nilai-nilai keindahan bahasa al-Qur`an.
Pembahasan balaghah untuk pertama kalinya lahir bukan di tangan para ulama Nahwu, akan tetapi lahir di tangan para ulama bahasa. Pada awalnya, pembahasan balaghah ini hanya bermuara pada penelitian untuk mengidentifikasi mana komunitas atau kabilah yang fushaha` (ahli fashahah) dan mana yang bukan. Kemudian setelah mereka dapat memilah antara komunitas yang fushaha`dan kelompok yang tidak dianggap fushaha`, mereka mulai mencatat atau meriwayatkan warisan sastra dari komunitas ahli fashahah tersebut dan menolak untuk meriwayatkan warisan sastra dari selain mereka. Alasan mengapa sebuah kabilah atau komunitas dianggap tidak fushaha` adalah adanya percampuran mereka dengan A’ajim (kaum non Arab) yang dengan itu disinyalir bahwa bahasa Arab mereka sudah banyak terpengaruhi dengan lahn (kesalahan berbahasa) kaum non Arab, atau dengan kata lain kemurnian dzauq‘Arabiy mereka sudah tidak murni lagi.
Fase ini ditandai dengan lahirnya karya Abu Ubaidah yaitu kitab “majaz al-Qur`an” dan dengan karya al-Jahidz yaitu “al-Bayan wa at-tabyin” dan “I’jaz al-Qur`an”. Al-jahidz dalam kitab “al-bayan wa at-tabyin” telah memakai istilah balaghah dan bayan. Akan tetapi kedua istilah yang digunakan oleh jahidz tersebut belum mempunyai definisi yang jelas, dalam arti definisi yang dapat mencakup seluruh satuannya (Jami’) dan memisahkannya dari satuan yang tidak sejenis dengannya (Mani’). Al-jahidz hanya memaknai balaghah sebagaimana dimaknai oleh al-‘Ataby bahwa balaghah adalah kemampuan untuk memahamkan seseorang apa yang kita inginkan tanpa menggunakan alat lain selain bahasa. Dan begitu juga istilah bayan, al-jahidz belum menjelaskan definisinya dengan gamblang.
Kemudian Abdul Qahir al-Jurjani muncul pada Abad ke 5 H dengan dua karyanya yang fenomenal yaitu Asrar al-Balaghah dan dalail al-i’jaz. Abdul Qahir menemukan teori tentang kalam nafsy (perkataan di dalam hati/akal yang tidak atau belum diucapkan).Pada gilirannya, teori ini menuntunnya kepada teori bagaimana menyusun konsepatau makna dalam nafs (hati/akal), lalu setelah itu ia tertuntut untuk menjelaskan proses produksi kalam atau perkataan. Sehingga pada akhirnya al-Jurjany sampai pada sebuah hasil, yaitu kerangka atau bingkai pemikiran yang terdiri dari empat unsur: an-Nadzam (susunan), al-bina` (bangunan), at-tartib (urutan), dan at-ta’liq (kaitan).
Dalam dalail al-i’jaz, al-Jurjany berpendapat bahwa kata tidaklah diciptakan untuk memberikan makna dengan sendirinya, akan tetapi antara kata-kata ituharus bergambung dan tersusun sehingga dapat memberikan sebuah arti atau informasi yang dapat dimengerti . Dan dalam asrar al-balaghah, ia mengungkapkan bahwa yang terpenting bagi seseorang (penutur bahasa) adalah ia harus sampai pada ungkapan yang jelas, isyarat yang benar, pembagian yang tepat, susunan struktur yang bagus, cara tasybih dan tamsil yang inovatif dan kreatif, ungkapan yang umum lalu berpindah pada yang lebih detail, menyambung dan memisahkan pada tempatnya yang benar, dan menggunakan hadzaf, ta’kid, taqdim, ta`khir dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Dalam taraf ini, al-Jurjany telah membahas pembahasan yang tidak dibahas oleh ulama Nahwu atau Ulama lughah, yaitu pembahasan yang dilandaskan pada perasaan dan cita rasa keindahan yang terikat dengan aturan formal yang longgar dan tidak sampai pada tataran kaidah seperti yang ada pada disiplin ilmu nahwu.
Itulah buah pemikiran Abdul Qahir al-Jurjany, dan peraktik ril dari pemikiran tersebut dituangkan oleh seorang tokoh abad ke 6 H, yaitu Zamakhsyari dalam tafsirnya, “al-Kassyaf”, sebuah karya yang mengeksplorasi teks al-Qur`an dengan kritis serta mejelaskan keindahan dan keagungannya.
Pandangan al-Jahid, Ibnu Mu’taz, dan Abdul Qahir al-Jurjany tentang balaghah ini adalah pandangan yang benar-benar masuk dalam ranah cita rasa dan bermuara seputar ushul (prinsip-prinsip dasar) tanpa harus mengekanganya dengan kaidah-kaidah yang sempit, memberikan ruang yang luas untuk ekplorasi bakat dan menikmati keindahan sastra yang jauh dari ikatan kaidah.
Jenis balaghah inilah yang kita sebut dengan balaghah sebagai ilmu pengetahuan, bukan disiplin ilmu, balaghah yang lebih mengfokuskan pada eksplorasi dan praktik ketimbang berkutat seputar teori dan kaidah-kaidah.
Balaghah Pada Fase Uslubiyat
Pada masa yang sama, dimana balaghah sebagai ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang, muncul juga pembahasan balaghah di kalangan ulama yang lain dengan orientasi yang berbeda. Yaitu pada abad ke 5 H, Qudamah bin Ja’far mengeluarkan sebuah karya dalam kritik sastra dan karyanya tersebut dinamaikan dengan “Naqd Qudamah”. Dalam kitabnya itu, ia melengkapi jenis-jenis badi’ yang digagas oleh Ibnu Mu’taz menjadi 30 jenis. Pembagian yang ia lakukan itu masih bersifat formal lalu kemudian orang-orang yang datang setelahnya menyempurnakan pembagian itu dengan membuatkan kaidah dan aturan. Qudamah berkeinginan untuk membuat sebuah kerangka bangunan yang abstrak yang memiliki klasifikasi dan memiliki definisi-definisi yang sangat menyerupai klasifikasi dalam ilmu nahwu. Menurutnya, syair terdiri dari empat unsur: lafadz, wazan, qafiyah, dan ma’na, karena ia mendefinisikan syair dengan “perkataan yang berwazan dan berqafiyah yang menjelaskan suatu makna”.
Setelahya datanglah Abu Hilal al-‘Askary, pemilik kitab “as-shina’atain”. Ia membahas seputar fashahah dan balaghah seperti pembahasan iijaz, hasywu, ithnab, dan tathwil, dan dalam kitabnya itu ia telah mengumpulkan 35 jenis badi’. Abu Hilal adalah orang yang sangat menguasai sastra, maka dari itu dapat menyajikan banyak syawahid dalam bukunya tersebut, tetapi dalam hal klasifikasi dan definisinya ia masih mengikuti metode Qudamah bin Ja’far, ia sekedar berlaku sebagai seorang pakar yang telah memiliki standar-standar untuk ia kiaskan.
Selain itu, muncul juga seorang ulama lain yang sangat cerdas yaitu Fakhruddin ar-Razi yang memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan Balaghah sebagai sebuah ilmu atau bisa juga disebut madrasah kalamiyyah (aliran ilmu kalam/filssfat). Ar-razy mengarang sebuah karya dalam kajian balaghah yaitu “Nihayatul ijaz fi dirayatil i’jaz”.
Karya Abu Hilal dan karya Fakhruddin ar-Razy, kedua mengillhami dan sekaligus memberikan mukaddimah bagi as-Sakaky yang hidup pada akhir abad ke 6 dan awal abad ke 7 H. Sebenarnya as-Sakaky bukanlah seorang sastrawan,dan bukan orang yang memiliki cita rasa yang tinggi dalam mengapresiasi dan meresapi keindahan sebuah karya sastra. Meskipun tidak bisa diragukan lagi bahwa ia adalah seorang ilmuan atau ulama dalam bidang bahasa Arab, nahwu, sastra, ‘arud, syair,kalam, dan fikih. Dalam kitabnya, “Miftah al-ulum”, ia membahas tiga ilmu secara berurut dari sharf, nahwu, kemudian balaghah dengan tiga pembagiannya, ma’any, bayan, dan badi’.
Budaya intelektual as-Sakaky sebagai seorang ilmuan sangat mempengaruhi gayanya dalam mengeksplorasi kajian balaghah. Ia tampak berlebihan dalam merancang definisi-definisi dan kaidah-kaidah dalam balaghah yang akhirnya membuat balaghah itu sendiri sangat jauh dari makna penghayatan cita rasa dan kritik teks. Dengan adanya definisi dan kaidah-kaidah tersebut balaghah secara teori sangat mudah dikuasai akan tetapi sangat jauh dari malakah (semangat inovasi dan eksplorasi bakat).
Balaghah Pada Fase Kejumudan Ilmu Balaghah
Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai syarah dan ringkasan seputar kitab “miftahul ulum” karya as-Sakaky. Para penulis ilmu balaghah setelahnya tidak memberikan sumbangsih hal yang baru dalam ilmu balaghah, semuanya hanya mengikuti metode dan pembagian as-Sakaky saja, penambahan dan pengurahan hanya berkutat pada contoh-contoh, penjelasan, dan penyederhanaan.
Manhajilmu al-Balaghah yang diusung oleh as-Sakaky memang sangat memudahkan untuk dimengerti dan diingat sehingga ia banyak diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan bahkan menjadi imam besar bagi disiplin ilmu ini. Kitabnya “miftah al-ulum”benar-benarbanyak sekali dibahas oleh orang-orang setelahnya hingga kitabnya itu banyak disyarah dan juga diringkas. Ia sendiri meringkas kitabnya itu dengan mengeluarkan kitab baru yang bernama “at-tibyan”, kemudian ibnu Malik juga meringkasnya dalam kitab “al-mishbah” dan al-Qazwaini juga melakukan hal yang sama dalam kitabnya “talkhish al-miftah” dan “Syarh al-idlah”. Kitab “mifath al-ulum” beserta syarh dan talkhishnya yang dilakukan oleh Quzwaini benar-benar laku dan mendulang banyak perhatian di pasaran sehingga banyak sekali ulama yang kembali mengulas matan dan syarahnya, sebut saja dalam hal ini Sa’ad at-taftajany dan Sayyid al-Jurjany yang juga membuat syarah bagi kitab tersebut. Bahkan setelah itu, tidak sedikit dari kitab-kitab syarah yang bermunculan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa asing (non Arab).
Akhirnya, pada fase ini para pemelajar balaghah asik tenggelam dalam kaidah-kaidah, dan balaghah tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk mencapai tadzwwuq atau mengapresiasi keindahan sastra, meski kini balaghah menjadi pembahasan yang penting dalam ranah yang saat ini dikenal dalam istilah linguistik modern dengan uslubiyat atau stylistics.
Daftar Pustaka
Al-Askary, Abu Hilal, kitab as-shina’atain, al-Maktabah al-Unshuriyah, Beirut 1419 H.
Al-Jahidz, al-Bayan wa at-tabyin, DaarwaMaktabah al-Hilal, Beirut 1423 H.
Al-Jurjany, dalail al-i’jaz, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah, Cet. II 1992.
Al-Jurjany, asrar al-balaghah, Mathba`at al-Madany Kairo, Daar al-Madany Jeddah.
Al-Juwainy, Musthafa, manhaj Zamakhsyary fi tafsir al-Qur’an, cet. II, Daar al-ma’aarif.
Al-maraghi, Ulum al-Balaghah, Maktabah Syamilah versi 3.39, www.shamela.ws
Ar-Rummany, Tsalatsu rosail fi i’jazil al-Qur’an, Daar al-Ma’arif.
Hasan, Abdurrahman Hanbakah. 1996. Al-Balaghah Al-‘Arabiyah Ususuhaa wa ‘Ulumuhaa wa Fununuhaa. Damaskus: Dar Al-Qalam.
Hasan, Tammam. 2000. Al-UshulDirasahefistimulujiyyah li Al-FikrAlLughawy ‘inda Al-‘Arab, Kairo: ‘Alam Al-Kutub.
Husain, Abdul Qadir, al-Muhktashar fi tarikh al-balaghah, Daar Gharib, kairo 2001.
Demikianlah Sejarah Ilmu Balaghah. Untuk mendapatkan file ini anda bisa download pada link dibawah ini. Semoga bermanfaat (File dilengkapi dengan footnote).
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.