Skip to main content

Hakikat dan Karakteristik Nilai dalam Filsafat Pendidikan Islam


Sebelum membahas tentang pengertian nilai secara khusus, akan disinggung sedikit tentang teori nilai. Karena kajian nilai dalam ilmu Filsafat berkaitan dengan kajian aksiologi terhadap sesuatu hal.[1] Kata aksiologi barasal dari bahasa Yunani “axios” dan dalam bahasa Inggris “axiology”; yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu.[2] Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.
Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[3] Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis.

Pengertian nilai atau value[4] secara terminology dapat diambil dari pendapat para tokoh, diantaranya: Menurut Fraenkel adalah ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang.[5] Menurut Henry Hazlitt, sebagaimana yang dikutip oleh Amril M. mengatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik, dicari, menyenangkan, diinginkan dan disukai dalam pengertian yang baik atau berkonotasi positif.[6] Lebih jelas lagi tentang hakikat nilai ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhmidayeli, bahwa nilai itu dapat bermakna benar dan salah, baik dan buruk, manfaat atau berguna, indah dan jelek, dan sebagainya.[7]
Meskipun pada dasarnya Nilai memiliki pengertian yang sangat luas, namun ada kesamaan persepsi yang kita dapatkan, bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya bahwa nilai adalah sesuatu yang baik.[8]

A. Karakteristik dan Tingkatan Nilai

Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teroi nilai, yaitu:

1.    Nilai subjektif atau objektif
Orang dapat mengatakan bahwa nilai sepenuhnya berhakikat subyektif, karena nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku, mereka menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya. Jadi, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.[9] Sebaliknya, di katakan objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.

2.    Nilai constant atau berubah[10]
Nilai dapat dikatakan constant karena nilai selalu bersifat tetap dan tidak berubah-ubah, atau absolut. Sesuatu yang baik, bajik, yang benar dan yang cantik atau bahkan yang menyenangkan dan lain sebagainya tidak dapat berubah secara fundamental dari generasi ke generasi, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Nilai dalam hal ini bukanlah produk manusia tetapi merupakan bagian dari alam raya, yang eksitensinya mengikuti sifat dan watak natural manusia yang sejati.
Sebaliknya, nilai dapat berubah atau bersifat relative tidak permanen tetapi tampil karena perubahan budaya dan masyarakat. Ini tidak menunjukan bahwa nilai-nilai bersifat fluktuatif dari masa ke masa. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah tertentu yang di anggap sebagai pengikat secara universal tanpa memperhatikan lingkungan dimana ia diakui  dan di praktikan. Larangan “jangan membunuh” umpamanya bukanlah prinsip yang absolute atau constant. Suatu saat prilaku membunuh dapat saja menjadi benar ketika dilakukan untuk mempertahankan diri atau mungkin karena memelihara kehidupan orang lain.[11]

B.  Hakikat Nilai dalam Islam

Pada hakekatnya segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dan semua yang ada di dunia mengandung nilai. Semua memiliki nilai yang baik dan bermanfaat bagi umat manusia.[12] Namun yang dapat menentukan apakah sesuatu itu bernilai atau tidak, tergantung kepada manusianya sebagai mu’abbid, khalifah fil ardh maupun ‘immarah fil ardh. Karena manusia sebagai subjek diatas dunia, maka semua nilai itu haruslah mengacu kepada etika. Jika kita cermati tentang tujuan Allah SWT menciptakan manusia adalah agar menjadi hamba-hamba yang selalu mengabdi kepada-Nya, itulah hamba-hamba yang berprilaku baik kepada-Nya, yaitu hamba-hamba yang ber-etika.
Hakikat nilai dalam Islam itu adalah sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia, alam, serta mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, yang dapat dijabarkan dengan luas dalam konteks Islam. Penempatan posisi nilai yang tertinggi ini adalah dari Tuhan, juga dianut oleh kaum filosis idealis[13] tentang adanya hirarki nilai.[14] Menurut kaum idealis ini, nilai spiritual lebih tinggi dari nilai material.[15] Kaum idealis merangking nilai agama pada posisi yang tinggi, karena menurut mereka nilai-nilai ini akan membantu kita merealisasikan tujuan kita yang tertinggi, penyatuan dengan tatanan spiritual.[16] Islam dalam hal ini, mengakui bahwa landasan utama dari kebaikan nilai adalah dari Allah SWT, yang kemudian penting diutusnya Nabi dan Rasul untuk lebih memperjelas pesan-pesan tuhan kepada umat manusia. Jadi sandaran Nilai dalam Islam ialah al-Qur’an dan Hadits atau Sunnah Rasulullah SAW.
Dalam menjabarkan kedua dimensi ini, diperlukan daya akal atau rasionalitas manusia agar pesan-pesan tersebut dapat sampai pada tataran hidup sepanjang zaman. Pembolehan akal, bahkan raga ruhani dalam memahami sesutau, hal ini dapat dicermati dari firman Allah SWT dalam Surah an-Nahl ayat 78.[17]
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut sebagai filasafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideology bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat-istiadat atau tradisi dan ideology sangat rentan dan situasional. Sedangkan nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai yang bersumber kepada al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan universal.[18]
Agar nilai-nilai tersebut berdaya guna, maka mau tidak mau nilai-nilai tersebut haruslah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pada gilirannya seorang manusia yang mengamalkan nilai-nilai keislaman yang berasal dari nilai-nilai ilahiyah dalam hidupnya, akan sampai kepada Insan Kamil, atau manusia tauhid. Insan kamil atau manusia tauhid ini adalah orang beriman dan bermoral (etika), yang juga mencakup didalamnya keluasan ilmu yang dimilikinya, sebagaimana tujuan penciptaan manusia ini oleh Allah SWT.
Namun perlu juga diketahui, bahwa dalam Islam salah satu syarat diterimanya amal haruslah ikhlas. Jadi bermoral atau ber-etika itu harus ikhlas, dengan cara melakukannya dengan penuh kesadaran. Semakin tinggi nilai ketaqwaan seseorang, maka semakin mulia pula (bernilai) kita disisi Allah SWT. Demikian itu hakikat nilai menurut pandangan Islam.

C.  Hakikat Nilai dalam Filsafat Pendidikan Islam

Setidaknya ada dua istilah yang sering digunakan untuk menyatakan nilai dalam bahasa Arab, yaitu “fadilah” dan “qimah”, yang lazim dipakai dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral adalah: “fadilah” sedangkan ungkapan “qimah” lebih dipakai untuk menyatakan nilai dalam konteks ekonomi dan hal-hal yang berkenaan dengan benda materi.[19]
Berbicara tentang nilai dalam Pendidikan Islam, berarti bebicara tentang hakikat pendidikan, proses, dan tujuan Pendidikan Islam itu sendiri. Hakikat Pendidikan Islam hampir sama dengan tujuan pendidikan Islam yaitu segala usaha untuk memelihara fitrah manusia, serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya atau Insan kamil sesuai dengan norma Islam. Begitu juga apa yang dikatakan Zakiah Daradjat adalah untuk membentuk kepribadian seseorang menjadi Insan Kamil dengan pola taqwa.[20] Berikutnya dalam proses pendidikan Islam, mestilah berlandaskan dengan nilai-nilai Islam, yaitu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Pendidikan sebagai suatu kegiatan mulia dalam Islam selalu mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebajikan bagi kemanusiaan, karena memang aktifitasnya selalu hendak menjadikan manusia sebagai makhluk yang bernilai moral, baik dalam fungsinya sebagai mu’abbid, khalifah fil ardh maupun ‘immarah fil ardh. Dalam konteks pendidikan Islam, nilai-nilai moral keagamaan menjadi bagian yang integral dalam setiap gerak usaha kependidikan yang secara struktural-formal tidak hanya tercantum dalam tujuan institusional pendidikan saja, tetapi hendaknya juga terjalin erat dalam setiap denyut nadi aktifitasnya.[21]
Oleh karena tugas pendidikan adalah bagaimana agar nilai-nilai kebaikan dan kebajikan itu dapat teraplikasi dalam keseluruhan realitas aktifitasnya di dunia, maka tugas utama para pendidik adalah bagaimana subjek didiknya memiliki kestabilan mental yang dapat memampukan dirinya untuk merealisasikan ide bawaan yang bercirikan moralitas ini dapat terealisasi sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi watak dan tabiatnya di dunia.
Moral atau akhlak adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Moral berkenaan dengan kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Nilai, dalam kontek Islam terbagi menjadi dua macam dan itu sesuai dengan pendapat Raghib Al-Ishafani[22], yaitu nilai mutlaq dan nilai muqayyad. Nilai mutlaq adalah nilai-nilai yang wajib dan entitasnya telah disepakati dan jelas. Sedangkan nilai muqayyad bersifat fleksibel dan lahir dari dinamika masyarakat.[23] Pada hakikatnya, nilai tidak timbul dengan sendirinya, karena ia menunjuk pada sikap penerimaan atau penolakan seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu realitas hubungan subjek-objek yang prosesnya tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan dan wawasan subjek penentu nilai. Oleh karena itu, nilai akan selalu berkembang dan berubah seiring dengan kecendrungan dan sikap mental individu-individu dalam suatu masyarakat. Hal ini terkait erat dengan upaya kependidikan sebagai wadah perubahan dan perbaikan perilaku yang secara niscaya akan menentukan sikap hidup seseorang dan masyarakat.
Pada dasarnya nilai tidak berada dalam dunia pengalaman, akan tetapi ia berada dalam pikiran. Secara praktis nilai menjadi standar perilaku yang menjadikan orang berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakininya. Sebagai standar perilaku, nilai-nilai moral pun membantu subjeknya menentukan pengertian sederhana terhadap suatu jenis perilaku. Dalam pengertian yang lebih kompleks nilai akan membantu subjek moral untuk mengidentifikasi apakah sesuatu perilaku itu perlu atau tidak, apakah ia baik atau buruk serta mendorongnya untuk membuat analisis dari suatu perilaku moral tertentu yang menuju pada penyimpulan-penyimpulan sebagai landasan suatu kecendrungan yang akan menjadi sikap yang akan menetukan corak suatu kepribadian.











D. DAFTAR PUSTAKA

Al Munawar, Husin, Agil, Said, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan            Islam, Ciputat: Ciputat Press, Cetakan II, 2005.
Amril, Etika Islam; Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, Pekanbaru:           Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2002.
AR, Zahruddin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cetakan I, 2004.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Bertens, K, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cetakan VIII, 2004.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara           Wacana, 1996.
M, Amril, Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran Dan Fungsionalisasi Etika           Islam, Pekanbaru: PPs UIN Suska Press, Volume 5 Nomor 1, 2006.
Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pekanbaru: PPs UIN          Suska Riau, Cetakan I, 2007.
__________, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Aditya Media, Cetakan I, 2005.
__________, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama, 2011
Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandun: Alfabeta CV, 2007.
SM, Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang: RaSAIL           Media Group, Cetakan IV, 2009.


[1]  Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV. Hal. 36.
[2]  Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Aditya Media, Cetakan I, 2005), 72.
[3]  Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996. Yogyakarta. Penerbit Tiara     Wacana. 327.
[4]  Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, Cetakan I, 2004), hlm. 85.
[5]  Risieri Frondizi, Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 16-19.
[6]  Amril M., Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran Dan Fungsionalisasi Etika Islam, (Pekanbaru,     PPs    UIN Suska Press, Volume 5 Nomor 1, 2006), hlm. 58.
[7]  Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan     I, 2007), hlm. 89.
[8]  K. Bertens, Etika, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan VIII, 2004), hlm. 139.
[9] Risieri Frondizi, Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 19-20.
[10] Muhmidayeli, Teori-Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Pekanbaru, PPs UIN Suska Riau, Cetakan     I, 2007), hlm. 89.
[11] Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan.(Bandung: PT Refika Aditama, 2011),hh.105-111.
[12] Sebagaimana yang terkandung dalam firmankan Allah Surah Ali Imran ayat 191, yang artinya: “(yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
[13] Salah satu aliran yang berkaitan dengan tingkatan nilai (Hirarki nilai).
[14] - Muhmidayeli, op.cit, hlm. 89.
    - Ada 3 pandangan berkaitan dengan hirarki nilai; kaum idialis (nilai spiritual lebih tinggi dari nilai non         spiritual (materi), kaum realis (nilai rasionalis dan empiris ditempatkan pada tingkatan atas, sebab        dianggap membantu manusia menemukan realitas objektif terhadap hukum-hukum alam dan aturan berfikir        logis), kaum pragmatis (sesuatu dikatakan bernilai, jika memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki        nilai instrumental).
[15] Drs. Ali Abri, MA (Sewaktu Menjadi Dosen Fak Syari’ah IAIN SUSKA). Filsafat Umum Suatu Pengantar.      Untuk Kalangan Sendiri. Hal. 98-40.
[16]  Muhmidayeli, op.cit, hlm. 91.
[17] Yang artinya: dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,      dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
[18]  Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat,      Ciputat Press, Cetakan II, 2005), hlm. 4.
[19] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.114.
[20] Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang, RaSAIL Media Group, Cetakan IV, 2009), hlm. 35.
[21]  Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, op.cit., hlm. 114.
[22]  Adalah salah seorang pemikir abad pertengahan yang berupaya memahami al-Qur’an lewat pendalaman terhadap bahasa arab.
[23] Dr. Amril M. MA, Etika Islam;Telaah Pemilkiran Filsafat Moral Raghib Al-Ishafani, Cet.1 (Pekanbaru:Pustaka Pelajar, 2002), h.213.

PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus