Skip to main content

Hakikat Ilmu dalam Filafat Pendidikan Islam

Hakikat Ilmu dalam Filafat Pendidikan Islam

www.azid45.web.id - Hakikat Ilmu dalam Filafat Pendidikan Islam. Ilmu secara umum adalah apa yang kamu tahu, tapi sesungguhnya ini bukanlah definisi, melainkan suatu tautology sekedar berkata bahwa ilmu adalah ilmu, dan sama sekali tidak menyatakan apapun[1]. Dengan demikian, beberapa Ulama Filosofi mendefinisikan ilmu sebagai berikut:

Imam Al-Rāghib Al-`Aṣfahānī seorang pakar filologi mendefinisikan ilmu dengan :

" [العلم إدراك الشئ بحقيقته "[2

Artinya: Ilmu adalah persepsi suatu hal dalam hakikatnya.

Dalam definisi ini, Yang mana sekedar menilik sifat (misalnya bentuk, ukuran, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal tidak merupakan dari ilmu. Maka dari itu suatu pandangan filosofis mengatakan tiap zat terdiri atas essence dan accidents. Essence adalah sesuatu yang darinya akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, dengan begitu di sebut sebagai hakikat. Maka, ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tidak berubah. [3]

Menurut Imam Al-Ghazāli mengartikan ilmu, sebagai tahu sesuatu. Berarti mengenali sesuatu itu sebagai adanya, atau bisa disebut juga dengan:

"[ معرفة الشئ على ما هو به "[4

Artinya: “Pengenalan sesuatu atas dirinya”

Definisinya di sini, untuk menyatakan tiga hal yang harus di uraikan.

a) Menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, imam Al-ghazāli tampak menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah per-orangan.

b) Tidak seperti istilah `Idrāk yang tidak hanya menyertakan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lainnya, tapi juga menyertakan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya.

c) Mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan diri.

Oleh karena itu, dalam pandangan imam al-gazhali, kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu keculi jika kita tahu sesuatu itu apa adanya. Karena sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya.[5]

Definisi selanjutnya dikemukakan oleh seorang ahli logika, yang bernama `Athīr Al-Dīn Al-`Abhari. Baginya ilmu adalah “menghampirnya gambar suatu benda dalam pikiran”. Definisi ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu pemikiran tentangnya, harus memiliki gambaran yang mana sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain, mengetahui adalah melakukan konseptualisasi. Yang mana ilmu adalah representasi mental atau konsepsi suatu hal yang diketahui, maka dari itu menyebabkan terjadinya pembedaan modern antara "ilmu konseptual” dan “ ilmu proporsional”.[6]

Al-Sharīf Al-Jurjāni mendefinisikan ilmu sebagai ‘tibanya makna dalam jiwa’ sekaligus ‘tibanya jiwa pada makna’. Satu hal yang menjadi jelas dalam definisi ini bahwa ilmu adalah tentang makna. Benda, fakta, atau peristiwa apapun, bisa diketahui oleh seseorang jika ia bermakna baginya. Semakin kita tahu tentang sesuatu maka semakin bermakna sesuatu itu bagi kita.[7]

Maka dari pengertian yang sudah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sejumlah makna, keyakinan, informasi, fakta, pemahaman, dan gambaran di bidang yang berbeda. Sebagaimana yang sudah terletak dalam diri manusia dari penghasilan yang sudah di coba berkali-kali untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya.[8]

[1] Dr. Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perespektif Barat dan Islam ( Jakarta: Gema Insani, 2013 ), 72.

[2] Al-`Aṣfahānī, mufradāt `alfāẓ Al-qurān ,( Damskus, Dār Al-qalam,1992),5:80.

[3]Dr. Adian Husaini, Ibid.75.

[4] Imam Al-Ghazāli, `Iḥyā` ‘ Ulūm Al-dīn, ( Bayrūt: Dār Al-fikr, 1999),1:33.

[5]Dr. Adian Husaini, ibid76.

[6] Ibid.76-77.

[7] Ibid.77-78.

[8] `Abd Al-‘āl, Ḥasan `Ibrāhīm, Muqaddimah fi falsafah al –tarbiyah al-`islāmiyah ( Riyad : Dār ‘Alam Al-kutub,1985 ),118.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus