Skip to main content

Ringkasan Diskursus Warga dan Elit Muhammadiyah Terhadap Terorisme Di Indonesia


www.azid45.web.id - Ringkasan Diskursus Warga dan Elit Muhammadiyah Terhadap Terorisme Di Indonesia. Pasca peledakan bom Bali oleh jaringan terorisme Indonesia yang dimotori oleh Amrozi[1] and friend, yang telah membuat umat Islam di Indonesia mendapatkan pandangan miring oleh dunia Internasional. Sebagai Islam fundamentalis[2] dan radikal[3]. Pada sisi yang lain, Indonesia merupakan Negara yang beragama Islam terbesar di dunia. Pandangan tersebut semakin mempertegas pandangan barat dalam melihat Islam sebagai agama yang "cruel, evil, uncivilized”, sehingga wajah Islam yang sesungguhnya hadir di muka bumi ini sebagai "rahmatan lilalamin" tertutup.[4]

Diskursus tentang terorisme di Indonesia seakan tiada henti. Belum sembuh luka aksi bom Bali yang kemudian disusul dengan serentetan aksi serupa, sehingga Indonesia selalu menjadi agenda Internasional Amerika Serikat. Karena Indonesia dianggap sebagai surge bagi para terorisme.[5] Bahkan Singapura sebagai Negara tetangga, juga menuding Indonesia sebagai lading yang aman bagi penyemaian aktivis-aktivis terorisme.[6] Terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh group terror Jemaah Islamiyah punya hubungan yang erat dengan Al-Qaeda, serta mempunyai jaringan teroris Internasional.[7]

Laporan , dalam The Internasional crisis group Asia report No. 63 edisi 26 Agustus 2003, mengindikasikan jaringan jama'ah pengebom di Indonesia memiliki jaringan dengan JI.[8] Alih-alih rentetan aksi terorisme diatas seakan-akan Indonesia dihadapkan pada suatu fase dimana seluruh masyarakat dihadapkan pada kewaspadaan yang tinggi akan adanaya ancaman terorisme.[9]

Dengan berkali-kali lolos Dr. Azhari dan Noor Din Moch Top, juga beberapa tersangka peledakan bom di Indonesia memberikan indikasi bahwa pentolan teroris ini memiliki jaringan yang luas untuk menyediakan save house dalam konsidi kepepet, mereka siap save name, cover job maupun cover story guna mengecoh aparat dan masyarakat sekitar, mempunyai jaringan serta sistem rekruitmen yang canggih.[10]

Atas usaha yang sangat keras setelah kecolongan berkali-kali, akhirnya tepat pada pertengahan Agustus 2009 gembong terorisme yang selama ini meresahkan masyarakat Indonesia yakni Noor Din M. Top tertangkap. Dalam sebuah penggerebekan yang sangat dramatis di rumah Muhajri.[11] Pemilik rumah di Desa Beji, Kec. Kedu, Kabupaten Temanggung yang digrebek polisi karena menjadi tempat persembunyian teroris (ternyata adalah kader Muhammadiyah).

Keterlibatan Muhajri selaku tokoh dan kader Muhammadiyah dalam kasus ini, adalah berawal dari dua keponakannya, yakni Aries dan Hendra yang ditangkap di Pasar kedu karena di duga ikut kelompok itu, awal sebelum penggerebekan, Muhajri mendapatkan tamu dari keponakannya. Sebagai muslim yang baik, dia tidak keberatan, apalagi menerima tamu dengan baik itu bagian dari ajaran Islam. Namun dia tidak diberitahukan siapa yang bertamu ke rumahnya. Muhajri juga tidak mengecek siapa tamu yang dibawa keponakannya tersebut, sehingga Muhajri benar-benar tidak tahu. Bahkan saat istri Muhajri yakni Endang ingin memberikan minum, orang itu yang ada di dalam kamar menolak ke luar dan meminta air minum diletakkan di luar kamar.[12]

Pengusutan pelaku terror bom yang dilakukan kepolisian yang ternyata mampu menangkap gembong terorisme nomor wahid di Indonesia, di rumah aktifis dan guru sekolah Muhammadiyah. Secara tidak langsung menyeret nama organisasi keagamaan terbesar kedua di Tanah Air, yakni Muhammadiyah yang beraliran wahabi. Inti dari ajaran wahabi ini adalah "pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk syirik dan khurafat", sontak peristiwa tersebut membuat opini dan wacana yang berkembang di masyarakat luas adalah bawha Muhammadiyah dekat dengan aksi terorisme di Indonesia.

Muhammadiyah adalah gerakan soasial keagamaan yang telah berperan besar dalam meberikan solusi terhadap problem kebangsaan, yang muncul selama ini telah banyak berperan dan memberikan konstribusi yang konstruktif dalam memajukan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dlaam bidang sosial keagamaan, apalagi tokoh-tokoh Muhammadiyah aktif dalam mengkampanyekan pluralism dan perdamaian antar umat beragama tidak hanya di Indonesia akan tetapi di tingkatan Internasional.

Tuduhan dan anggapan, dekatnya warga Muhammadiyah dengan para actor terorisme inilah yan kemudian memunculkan wacana bahwa Muhammadiyah secara ideology dekat dengan aliran para terorisme, yakni wahabi. Ideology wahabi ini memang dikenal keras dan tegas terhadap dakwah "amar ma'ruf nahy mungkar". Serta konsisten dalam "li'ilai likalimatillah wa dinillah" konsisten dalam menegakkan nama dan agama Allah dimuka bumi.

Dalam sejarah pergerakan Islam pada akhir abad ke-18 misalnya, orang mengenal kasus gerakan Wahabiyah di semenanjung Arab yang dipimpin oleh Muhammad Bin Abdul Wahab (1703-1792) dan Sayyid Ahmad Syahid (1786-1831).[13] Gerakan ini (disamping tokoh-tokoh lain seperti Hasan Al-Bana, Sayyid Qutub, Abu 'Ala Al-Maududi, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghoni, Rasyid Ridha dan sederet nama lain di berbagai belahan bumi) dipicu oleh kehidupan masyarakat muslim yang dinilai sudah menyimpang dalam banyak hal dari prinsip-prinsip ajaran Islam.

Masyarakat Islam pada waktu itu praktik kehidupan agamanya telah dirasuki oleh paham yang berasal dari tradisi non Islam. Masyarakat Islam dinilai telah mempraktekan adat dan melakukan kebiasaan yang jauh dari ruh ajaran yang terkandung dalam sumber otentik Al-Qur'an dan As-Sunnah. Diantara kepercayaan dan cara hidup sehari-hari yang menyimpang tersebut adalah bahwa ulama telah di jadikan dan menjadi perantara langsung kepada Allah dalam melayani kebutuhan warga masyarakat. Kuburan para ulama atau di anggap sebagai wali Allah menjadi tempat memohon sesuatu oleh warga masyarakat dalma memecahkan masalah kehidupan mereka (Choueiri, 1990).[14]

Eksternalisasi tokoh-tokoh paham Wahabiyah ini selain mampu secara efektif memberantas penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam yang sempat terlegitimasi kekuasaan para ulama pada waktu itu. Akhirnya juga mampu menjalin kerja sama dengan penguasa setempat termasuk mampu memperoleh dukungan dari kekuatan militer dalam melakukan kritik dan protes terhadap tradisi yang menyimpang.[15] Upaya ekternalisasi dan internalisasi yang militant dari pemimpin gerakan Wahabiyah, berhasil sampai pada tingkatan proses objektivitas dalam bentuk tersebarnya paham keislaman mereka ke seluruh daratan Arab. Pemikiran dan interpretasi gerakan ini dalam memahami dan mempraktekkan Islam akhirnya justru menjadi rujukan secara formal kerajaan Saudi Arabi.[16]

Demikianlah sesungguhnya eksitensi aliran Wahabi itu, Muhammadiyah sebuah organisasi sosial keagamaan yang berdiri sebelum bangsa ini lahir, yang dalam dakwah mempunyai misi sosial dalam rangka "Amar Ma'ruf Nahy Mungkar" dan untuk kesejahteraan sosial masyarakat miskin dan kaum dhuafa'.

Studi tentang wacana terorisme di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para peneliti di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Asfar peneliti dari Universitas Airlangga. Muhammad Asfar meneliti relasi atau hubungan antara terorisme dan pesantren dan hasil dari penelitiannya yang berjudul "Islam Lunak Isalm Radikal Pesantren Terorisme dan Bom Bali". Penelitian ini berusaha melihat terorisme dan pesantren serta konsep jihad yang dipahami oleh para kiai dan santri serta ajaran-ajarannya.

Berkaitan dengan strategi perjuanagan umat, sebagian kalangan kiai dan santri setuju jika strategi perjuangan umat dilakukan melalui cara-cara kekerasan, dengan alas an perlakuan orang non muslim pada kalangan muslim afganistan, Palestina, Irak, dan sebagainya sudah tidak bisa di toleransi. Tindakan orang asing non muslim yang ke Indonesia tidak mengindahkan norma sosial masyarakat dan agama setempat, yang menyebabkan kerusakan moral. Berkali-kali para da'i mengingatkan (lebih dari tiga kali) tetapi tidak ada perbaikan, aparat tidak tegas menindak tempat-tempat maksiat dan sebagainya. Sebagian besar memang tidak setuju dengan cara-cara kekerasan, dengan alasan nabi selalu memperlakukan musuh-musuhnya dengan baik, sebaiknya berdakwah lebih mengedepankan "Amar Ma'ruf Nahy Mungkar".

Sejarah telah membuktikan bahwa, cara-cara kekerasan tidak pernah membuahkan hasil positif bagi kehidupan umat. Akan tetapi sebaliknya akan menimbulkan dendam historis berkepanjangan dan tidak pernah berakhir. Cara-cara kekerasan ditengah kampanye "Menciptakan Dunia dalam Damai" justru akan kontra produktif dalam dunia Islam, baik di Indonesia maupun di negara-negara asing, dan sebagainya.

Kelompok yang setuju menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan kepentingan umat dan yang tidak setuju pada umumnya bisa dihubungkan dengan pemahaman mereka tentang konsep jihad. Kelompok setuju cara-cara kekerasan kebanyakan memahami konsep jihad sebagai Fardu Ain, lebih mengutamakan jihad periode Madinah dan dalam pengertian perang, dan menempatkan keutamaan jihad sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh umat Islam jika memiliki kesempatan. Sebaliknya, kelompok yang tidak setuju dengan cara-cara kekerasan kebanyakan memahami konsep jihad sebagai Fardu Kifayah, lebih mengutamakan jihad dalam pengertian melawan hawa nafsu dan berjuang melalui lisan dan harta, lebih merujuk pada sejarah Rasulullah di Mekkah dalam mengimplementasikan jihad sehingga lebih memilih "menahan tangan" dan cara-cara damai dalam berdakwah, dan menjadikan keutamaan jihad hanya sebagai motivasi dan penghilang rasa takut jika umat Islam dihadapkan pada situasi diserang oleh kaum musyrikin.[17]

Dari peristiwa tersebut, alih-alih opini dan wacana yang berkembang di masyarakat luas da nada beberapa pihak yang mencoba mengkait-kaitkan Muhammadiyah dengan gerakan kelompok garik keras. Tentunya kemudain di tepis oleh para elit Muhammadiyah seperti pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Dien Syamsudin dengan meminta kepada semua pihak untuk tidak mengaitkan, (yang dialami Muhajri) dengan organisasi. Apalagi dengan tendesius memberikan penilaian yang macam-macam. Karena pada dasarnya Gerakan Muhammadiyah itu sudah jelas,d an saemua orang sudah mengetahui bahwa Muhammadiyah itu adalah organisasi gerakan keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan, yang berdakwah dan menyampaikan kebenaran Islam dengan santun dan cinta damai. Sejarah membuktikan bahwa usia Muhammadiyah itu lebih tua dari republic ini, banyak tokoh Muhammadiyah yang ikut andil berdirinya republic ini. Oleh karena itu Komitmen Muhammadiyah terhadap bangsa ini sudah tidak perlu diragukan lagi.

Menurut Dien Syamsudin, tidak ada kaitannya Muhammadiyah dengan terorisme pengusutan pelaku terror bom yang dilakukan kepolisian ternyata menyeret nama organisasi keagamaan terbesar kedua di Tanah Air, Muhammadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsudin mengkhawatirkan isu penangkapan Muhajri oleh polisi akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan ormas yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Tindakan yang akan diambil untuk mengantipasi pihak-pihak yang mencoba mengkaitkan Muhammadiyah dengan gerakan kelompok garis keras?. Gerakan dakwah Muhammadiyah sudah jelas, dan semua orang sudah mengetahui bahwa Muhammadiyah itu adalah organisasi gerakan sosial, keagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pada sisi yang lain, untuk menepis isu dan wacana Muhammadiyah dekta dengan teroris lewat pintu wahabi sebagai aliran Muhammadiyah, ketua PP Muhammadiyah Dr. Yunahar Ilyas, berpendapat bahwa untuk menjelaskan jaaran yang dikembangkan Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab adalah ajaran memurnikan tauhid. Jadi tidak ada hubungannya dengan tindakan terror. Pernyataan ini disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Dr. Yunahar, Lc di Jakarta, Selasa (4/8). Pernyataan ini disampaikan, seiring dengan berbagai stigma Wahbi yang diberikan oleh segilintir orang. Sebagaimana diketahui, sejak kasus bom Kuningan, beberapa orang yang sesungguhnya secara substansi "tak mengerti Islam", tiba-tiba dibesarkan TV dengan mengeluarkan stigma Wahabi sebagai biang terror. (Mengembalikan Jati Diri Bangsa).[18]

Ajaran pokok Muhammad Bin Abdul Wahab adalah pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk Syirik dan khurafat yang berkembang pesat pada waktu itu. Dari segi fiqih Muhammad Bin Abdul Wahab merupakan pengikut Imam Hambali, tetapi tidak fanatic. Artinya, dakwah Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab ingin mengembalikan segala sesuatu praktik ibadah ke Al-Qur'an dan Sunnah. Ini yang disebut dengan kembali pada paham "salafus sholeh". Sedangkan dari tauhid, dia merupakan pengikut "Ahlussunnah Wal Jamaah".

Sebagian orang tidak paham dengan ini. Apalagi dengan tuduhan-tuduhan negative, bahkan dikaitkan dengan terorisme. Selanjutnya, ia juga menilai, dari segi ajaran apa yang disampaikan Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab tidak ada celanya. Apalagi hubungan-hubungan dengan aksi terorisme. Dalam memerangi kemusyrikan, Muhammad bin Abdul Wahab bekerja sama dengan Muhammad bin Saud dari Kerajaan Saudi Arabi.

Karena itu, menurutnya, pengaitan terorisme dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab adalah tidak betul. Kemungkinan terjadi salah paham atau ada maksud tertentu untuk mendiskreditkan Islam (Mengembalikan Jati Diri Bangsa). "Sasaran utamanya Islam, bukan hanya kelompok yang disebut Wahabi. Kalau umat Islam tidak kompak, tinggal menunggu momentum saja untuk memberangus kelompok Islam lainnya", tuturnya.

Di samping itu juga, katanya, istilah Wahabisme sendiri tidak benar. Istilah ini berasal dari pihak luar Islam yang tidak senang dengan ajaran yang dikembangkannya. Dia sendiri dan pengikutnya menyebut sebagai Al-Muwahhidun, orang yang bertauhid, ucapnya.

Sementara itu secara terpisah, Ketua Umum LDII KH Syuhada Bahri mengungkapkan, ada keinginan dari kelompok tertentu yang tidak ingin melihat Islam berkembang maju. Caranya, dengan mengkaitkan aksi terror dengan ajaran wahabi. "Ajaran Wahabi itu mengajak untuk kembali kepada ajaran yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah,". Syuhada Bahari menjelaskan, kalau ajaran Wahabi ini dilaksanakan dan diketahui oleh umat Islam secara sadar, akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa membawa umat kepada kemajuan. Umat Islam tidak akan terpuruk jika berpegang kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

Indonesia dahulu yang dianggap Wahabi itu organisasi Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Dia mempertanyakan apakah organisasi-organisasi Islam ini mau disebut teroris. Padahal organisasi Islam tersebut telah lama memberikan kontribusi yang nyata untuk negeri ini, pungkasnya

Keterjebakan Muhammadiyah dalam pergaulan wacana dan opini antiterorisme di Indonesia setelah penangkapan yang menewaskan gembong terorisme nomor wahid di Indonesia menarik untuk di teliti bagaimana para elit Muhammadiyah berjibaku menyelamatkan organisasi yang telah satu abad ini tidak terjebak pada wacana dan isu terorisme.

Siskursus antara warga dan elit Muhammadiyah tentang aksi terorisme yang melibatkan kader Muhammadiyah menjadi menarik untuk diteliti, mengacu pada penelitian yang dilakukan Munir Mulkhan di Jember, yang mengelompokkan warga Muhammadiyah menjadi 4 (empat) kelompok, yang masing-masing kelompok mempunyai paradigm dan perspektif yang berbeda dalam melihat aksi terorisme tersebut, pertama Muhammadiyah Al-Ikhlas, kedua Muhammadiyah Ahmad Dahlan, ketiga Muhammadiyah-NU, keempat Muhammadiyah Nasionalis/ Muhammadiyah Marheinis. Perbedaan paradigm atau cara pandang inilah dari keempat kategorisasi warga Muhammadiyah inilah yang nantinya akan penulis teliti.

Dengan mendasarkan fenomena diatas maka dapat dikaitkan bahwa terorisme adalah kontruksi sosial yang begitu kompleks. Setiap kelompok, individu, kekuatan sosial dan politik memiliki sendiri diskursus ikhwal terorisme. Termasuk pemerintah Indonesia memiliki perspektif sendiri tentang apa itu terorisme, sementara terdakwa, termasuk intelektual memiliki diskursus yang berbeda dengan pemerintah.

[1] Amrozi adalah salah satu motor penggerak bom Bali dan dia di besarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dalam pendidikan Muhammadiyah
[2] Lihat Choueiri, Youssef, "Islam Fundamentalism", Boston: Twayne Publisher, 1993.
(paham fundamentalisme saat itu lebih terkotak kepada masalah hukum dan sumber-sumbernya. Pada masa sebelum dan masa Imam Syafi'I, pendapat-pendapat hukum telah meluas sumbernya, tidak hanya berdasarkan sumber-sumber yang diakui dalam Islam. Ra'yu yang tidak bisa dibuktikan berdasarkan dari sumber-sumber Islam akhirnya ditolak oleh Syafi'I sebagai sumber dalam menetapkan hukum). 
[3] Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastic dan kekerasan. Dalam perkembangannya, menurut penulis, bahwa radikalisme kemudian diartikan juga sebagai faham yang menginginkan perubahan besar.
[4] Lihat Reuven Firestone, "Jihad The Origin Of Holy War In Islam", New York: Oxford University Press, 1999, hal.13
[5] Lihat Ridwan al-Makasari, "Terorisme Berjubah Agama", Jakarta:PPB UIN, 2003, hal.22
[6] Lihat Bantarto Bandoro, "War Against Terror: Lessons for Indonesia", dalam The Jakarta Post, September, 2002.
[7] Lihat David Austen, "Membongkar Jaringan Terorisme Internasional", Jakarta: Paramedia, 2002.
[8] Lihat Luqman Hakim, "Terorisme di Indonesia”, Surakarta: Forum Studi Islam, 2004.
[9] Lihat Wawan H Purwanto, "Terorisme Ancaman Tiada Akhir", Jakarta:Grafindo, 2004.
[10] Lihat Jawa Pos, Edisi 12 Maret, 2010, hal.1
[11] Muhajri yang rumahnya digrebek polisi dalam pencarian teroris adalah warga Muhammadiyah. Dia bertugas sebagai guru di SMP 2 Kedua. Sebelumnya, beliau guru agama di lingkungan Departemen Agama. Namun sejak pensiun tahun 2010. Dia diperbantukan mengajar di sekolah Islam swasta Muhammadiyah. Karena sudah ikut mengajar di Muhammadiyah, beliau mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah tahun 2006. Keterlibatan Muhajri yang sekaligus guru sekolah Muhammadiyah, yang dlam kehidupan keseharinya beliau menjadi tokoh masyarakat sekitar, dia menjadi imam dan khotib di tempat tinggalnya. Serta sangat desegani. Di setiap berdakwah, dakwahnya menggebuhkan. Tidak ada bukti dia terlibat dalam aliran keras, apalagi kelompok teroris.
[12] Lihat Harian Kompas, Kamis 201 Agustus, 2009
[13] Lihat Tariq Ali, "Benturan Antara Fundamentalis Jihad Melawan Imperalisme Amerika", Jakarta: Paramadina, 2004, hal.81
[14] Lihat Choueiri, Youssef, "Islamic Fundamentalism", Boston: Twayne Publisher, 1990.
[15] Lihat Ahmad Jainuri, dkk, "Terorisme dan Fundamentalisme Agama", Malang: Bayu Media Publishing, Agustus 2003, hal.43
[16] Lihat Ahmed, Akbar, S, "Discovering Islam, Making Scence of Muslim History and Society", London: Routedge, 1993.
[17] Lihat Muhammad Asfar, "Islam Lunak Islam Radikal", Surabaya: JP Pers, 2003, hal.241
[18] Lihat www.hidayatullah.com
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus