Skip to main content

The Class Of Civilitation Samuel P.Huntingtion


www.azid45.web.id - TheClass of Civilitation Samual P. Huntington. Tidak dapat diragukan lagi bahwa paska perang dingin, dari waktu kewaktu, politik global semakin bersifat multipolar dan multicivilitational, sepanjang sejarah umat manusia, hubungan antar peradaban tidak nampak dengan jelas, tersamar. Pasca perang dingin dimulailah perubahan-perubahan identitas-identitas simbol-simbol secara dramatis. Politik global mulai melakukan konfigurasi di sepanjang lintas batas kultural. Naik turunnya bendera-bendera menjadi pertanda bahwa sedang terjadi masa-masa transisi.

Kemajuan intelektual dan ilmu pengetahuan, sebagaimana ditunjukkan oleh Thomas Khun dalam buku klasiknya "The structur of Scientific Revolutions", terdiri dari pergantian suatu paradigm yang tidak lagi mampu menerangkan fakta-fakta (persoalan-persoalan) baru yang dapat dijelaskan melalui sebuah paradigm baru tidak mampu menjelaskan fakta-fakta tersebut melalui cara yang lebih memuaskan, "Untuk dapat diterima sebagai sebuah paradigm", Khun menulis, "sebuah teori harus lebih baik dari teori yang berbicara tentang persoalan yang sama tetapi ia tidak perlu dan dalam kenyataannya tidak pernah menerangkan seluruh fakta, yang dengannya ia dapat dipertentangkan.[1]

Term "Barat", kini secara universal digunakan untuk menunjukkan pada apa yang disebut dunia Kristen Barat. Barat dengan demikian, adalah sebuah peradaban yang dipandang sebagai "penunjuk arah" yang tidak diidentikkan dengan nama-nama tertentu, Agama, wilayah, geografis. Pengidentifikasian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulturnya. Secara historis peradaban Barat adalah peradaban Eropa. Di era modern peradaban Barat adalah peradaban Ero-Amerika "Euroamerican" atau Atlantik Utara. Eropa, Amerika, dan Atlantik Utara dapat dijumpai di dalam peta Barat. Sebutan Barat juga digunakan sebagai konsep dari "Westernisasi" dan hal ini telah memberikan penafsiran yang menyesatkan dengan kaitannya westernisasi dan modernisasi. Peradaban Ero-Amerika, diterima secara universal sebagai peradaban Barat, dan term tersebut meski demikian mempunyai kekurangan yang cukup serius, akan digunakan disini.

Agama adalah karakteristik utama yang mencirikan sebuah peradaban, dan sebagaimana yang dikatakan oleh Christopher Dawson, "Agama-Agama besar adalah bangunan-bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar.[2] Menurut Weber empat dari lima Agama besar dunia, Kristen, Islam, Hinduisme, Konfusianisme, diasosiasikan dengan peradaban-peradaban major. Bagaimana dengan Yahudi apakah Agama ini masuk dalam peradaban?. Sebagian besar sarjana peradaban jarang sekali menyebut-nyebutnya. Hal itu mengandung arti bahwa yudaisem buka merupakan sebuah peradaban major. Toybee menggbambarkan sebagai sebuah peradaban "yang terpenjara", sebagai perkembangan peradaban yang telat lanjut dari peradaban Syria.[3]

Masyarakat-masyarakat Isalam menemukan kesulitan dengan modernisasi, dan Pipes menyatakan bahwa westernisasi menjadi penyebab utama terjadinya benturan antar Islam versus modernitas dalam kaitannya dengan persoalan puasa, hukum waris, dan partisipasi wanita dalam lapangan kerja. Sekalipun demikian mengutip pernyataan Maxine Rodinson, "tidak ada indikasi bahwa Agama Islam menghalangi umatnya dari jalan kapitalisme modern yang terus berkembang", dan menurutnya, hal itu lebih berkait dengan persoalan-persoalan lain dari pada persoalan-persoalan ekonomi demikian menurutnya:

Islam dan modernisasi tidak saling bertentangan. Orang-orang Islam yang saleh dapat saja berkecipung dalam dunia ilmu pengetahuan, bekerja di pabrik-pabrik atau menggunakan senjata-senjata canggih. Modernisasi tidak memerlukan ideologi politik atau seperangkat institusi: pilihan-pilihan, ikatan-ikatan kebangsaan, perkumpulan-perkumpulan warga kota, dan karakter khas kehidupan Barat yang tidak memerlukan kehidupan ekonomi. Sebagai sebuah keyakinan, Islam mampu memuaskan konsultan-konsultan manajemen, begitu juga kaum tani. Syari'ah tidak pernah menyebutkan bahwa perubahan harus melalui modernisas, seperti peralihan dari petani menuju industry, dari perkampungan menuju kota, atau dari stabilitas social menuju hegemonitas social, hal itu tidak berkaitan dengan persoalan-persoalan seperti pendidikan massa, sarana komunikasi, bentuk-bentuk saran transportasi baru, atau sarana kesehatan.[4]

Modernisasi pendek kata tidak harus Westernisasi, masyarakat-masyarakat no Barat dapat saja melakukan modernisasi dan mengalami modernisasi sekaligus mengadopsi nilai-nilai, institusi-institusi, dan praktik-praktik Barat tanpa meninggalkan kebudayaan-kebudayaan mereka sendiri. Yang terakhir, sesungguhnya merupakan sesuatu yang mustahil. Apapun yang menjadi hambatan bagi kebudayaan-kebudayaan non Barat untuk mengejar arus modernisasi, sebelum mereka mengikuti alur Westernisasi.

Hal itu, sebagaimana dinyatakan oleh Raudel, sungguh merupakan suatu sikap yang "kekanak-kanakan" jika berfikir bahwa modernisasi atau kemenangan peradaban dalam rangka singularnya, akan mengantarkan pada akhir pluralitas kebudayaan yang telah ada selama berabad-abad dalam peradaban-peradaban besar dunia.[5] Modernisasi, sekalipun demikian, memperkuat kebudayaan-kebudayaan tersebut dan mereduksi kekuatan relatif Barat. Melalui cara-cara yang fundamental, dunia menjadi lebih modern dan tidak begitu ter-Barat-kan.

Kebangkitan Islam ini, dlaam makna yang paling dalam dan paling luas, merupakan fase akhir dari hubungan antara Islam dan dengan Barat, sebuah upaya untuk menemukan "jalan keluar" yang tidak lagi melalui ideologi-ideologi Barat, tetapi di dalam Islam. Ia merupakan perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan rekomitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern.

Sebagaimana pada tahun 1994 dinyatakan oleh salah seorang pejabat tinggi Saudi, "impor asing" memang menakjubkan atau "segala sesuatu" yang berteknologi tinggi. Namun institusi-institusi social politik yang di impor dari manapun juga dapat menjadi ancaman yang berbahaya Islam tidak sekedar sebagai Agama tetapi Islam merupakan "wayof life", kebangkitan Islam merupakan pengejawantahan usaha-usaha yang dilakukan oleh umat Islam untuk mencapai tujuan ini.

Sebagian orang Barat, sepakat bahwa Barat tidak, mempunyai masalah dengan Islam, tetapi memiliki masalah dengan kelompok ekstrimis Islam. Selama empat ratus tahun, sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya. Hubungan umat Islam dengan Kristen baik ortodok maupun Barat sekalipun penuh ketegangan. Keduanya bersikukuh dengan prinsipnya masing-masing.

Konflik Abad XX antar demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme hanyalah sebuah fenomena historical yang bersifat sementara dan superfisial jika dibandin dengan hubungan konfliktual antar Islam dan Kristen. Suatu ketika mereka hidup berdampingan dengan damai akan tetapi dilain waktu mereka seringkali terlibat dalam hubungan persaingan dan dalam berbagai tingkat dalam kecamuk perang, menurut John Esposito. Sering kali sebagai dua komunitas yang saling bersaing dan menatap pada pertempuran yang penuh kematian, dan menatap pada pertempuran yang penuh kematian, demi kekuasaan, tanah, dan jiwa.[6]

Sebuah perang yang melibatkan negara-negara inti dari peradaban-peradaban besar dunia sebagai sesuatu hal yang bisa saja terjadi, tetapi tidak mungkin. Perang seperti itu, sebagai mana telah diketahui, berasal dari adanya sebuah garis persinggungan perang di antara berbagai kelompok yang berasal dari peradaban-peradaban yang berbeda, dan yang paling sering melibatkan kaum muslim dan non muslim serta yang lainnya negara-negara Islam saling memberikan bantuan kepada masyarakat yang sering dilanda konflik.

Negara-negara yang sering memainkan dan tertier tidak terlalu melibatkan diri dalam konflik tersebut, sebab yang lebih berbahaya dari perang global interperadaban adalah terjadinya "balance of power" diantara peradaban-peradaban denga negara-negara inti, jika hal ini terus berlanjut, kebangkitan Cina dan tampilnya "pemain terbesar dalam sejarah manusia" akan memainkan peran yang sangat penting bagi stabilitas Internasional pada awal Abad XXI. Tampilnya Cina sebagai kekuatan dominan di Asia Timur dan Tenggara akan menjadi kendala tersendiri bagi kepentingan-kepentingan Amerika yang telah mereka ketahui sebelumnya.[7]

Pada tahun 1950-an, Lesten Person mengingatkan bahwa manusia akan memasuki suatu abad ketika berbagai peradaban yang berbeda mulai belajar hidup berdampingan secara damai. Saling memahami antara satu dengan yang lain, mempelajari sejarah, cita-cita, seni dan kebudayaan serta saling memperkaya kehidupan masing-masing. Sebagai dampak dari kondisi dunia yang semakin menyempit ini terjadi kesalahpahaman berbagai ketegangan benturan dan bencana, masa depan perdamaian (dunia) dan peradaban bergantung pada adanya sikap saling pengertian dan kerjasama diantara tokoh-tokoh politik, spiritual dan intelektual dari peradaban besar dunia.

Dalam kaitan dengan benturan-benturan peradaban yang terjadi Eropa dan Amerika dihadapkan pada dua kemungkinan: saling bekerja sama atau saling terpisahkan. Dlaam benturan yang lebih besar, "benturan nyata" secara global antara peradaban dengan barbarianism.

Peradaban-peradaban besar dunia dengan kekayaan dalam hal Agama, seni, kesusastraan, filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi moralitas dan ajaran kasih, juga dapat menjadi sebab terjadinya persatuan atau perpecahan. Dalam era baru berbagai benturan antar peradaban merupakan ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia dan sebuah tatanan internasional yang didasarkan pada landasan peradaban merupakan pengaman utama yang dapat mencegah terjadinya perang dunia.[8]

Tidak bisa kita ragukan lagi, bahwa sesungguhnya kontruksi teoritis yang coba dibalut dengan argumentasi-argumentasi, Samuel dalam tesisnya "The clas of civilitation", atau benturan antar peradaban, bahwa sesungguhnya konflik yang ketat dialami saat ini adalah sebuah pertentangan antar ideologi Islam dan Barat.[9]

Stereotip, ini yang berusaha untuk disampaikan Huntington, dan realitas konflik dan ketegangan yang muncul sesungguhnya bukan berasal dari ideologi Agama dan peradaban itu sendiri, akan tetapi konflik ini bermotif untuk penguasaan ekonomi dan politik semata. Sedangkan Agama hanya dijadikan kedok sebagai pembalut dan spirit untuk berkonflik atas nama Agama dan keyakinan kita berjuang dan berperang.

[1]Lihat New York Time, 7 Februari 1993, hal.1, dan Gabriel Scoenfeld, outher limits, "Post Soviet Prospects", (17 Jan, 1993) 
[2] Dalam kaitan dengan peran peradaban Eropa dalam menciptakan masyarakat-masyarakat baru di Amerika Utara, Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Australia, lihat Louis Hartz, The Faunding Of New Societies: Studies In The History Of The United States, Latin America, Soulth Africa, Canada, and Australia (New York: Harcourt, Brace & Word, 1964).
[3] Secara historis, ia memiliki keterkitan kultural mereka melalui peradaban-peradaban Barat, Ortodok dan Islam.
[4] Pipes, "Path Of God", hal.197
[5] Ferman Braudel, "On Historiy" (Cicago: University Of Chicago Press, 1980), hal.213
[6] Bernad Lewis, "Islam Nad The West", (New York: Oxford University Press, 1993), hal.13
[7] Untuk sebuah pertanyaan mengenai kepentingan ini pada Tahun 1990-an, lihat "Deferense Planning Cuidance For The Fiscal Years 1994-1999", Draft, 18 Februari 1992, New York Times, 8 March 1992, hal.14
[8] Lester Person, "Democracy In Word Politic", (Princeton Univercity Press, 1955), hal:83-84
[9] Samuel P Humtingtion, "The Class Of Civilitation", terjemahan dan terbitan Penerbit Qalam, Yogyakarta.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus