Skip to main content

Makalah Tentang Sejarah Pemikiran Islam - Aliran Al-As'ariyah

Sejarah Pemikiran Islam - Aliran Al-As'ariyah
www.azid45.web.id - Makalah Tentang Sejarah Pemikiran Islam - Aliran Al-As'ariyahDalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai arti majazi dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.

Untuk file lengkapnya bisa download disini Makalah Sejarah Pemikiran Islam.doc

Sebaliknya, pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.

Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain Mu’tazilah membaca yang tersurat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.

Asy’ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1 ½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mu’tazilah, tetapi kadang juga melawan naqliyyin (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf  ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi Negara di dunia Sunni yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi social-politik.

Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan terhadap Mu’tazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan.

Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun ± 330 H. Ia mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah Abu ‘Ali al-Jubba’I. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun begitu, pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Selanjutnya ia condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari ‘aqidah berdasarkan metode mereka.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam ada dua aliran yang mempunyai corak pemikiran yang kontradiktif. Aliran Muktazilah mempunyai pemikiran bercorak rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan aliran al-Asy’ariah mempunyai pemikiran bercorak tradisional, dan aliran ini muncul sebagai sanggahan atas pemikiran Mu’tazilah. Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy’ari ini pada mulanya adalah pengikut setia ajaran Mu’tazilah, namun karena disebabkan beberapa hal yang bertentangan dengan hati nurani, pemikirannya dan kondisi social masyarakat (ia merasa perlu meninggalkan ajaran itu) di zaman itu yang menyebabkan ia berpaling meninggalkan ajaran Mu’tazilah, dan bahkan memunculkan aliran teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap ajaran Mu’tazilah, ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.


Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :

Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.

Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.

Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertakwa.

Politik kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Sejak itu, kaum Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut dari imam yang pernah menjadi korban mihnah di zaman al-Ma’mun. Perlawanan dari golongan ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl al-Sunnah, atau Asy’ariyah.

Sekarang timbul persoalan, apa sesungguhya yang menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah? Rasanya tidaklah mungkin al-Asy’ari yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan tahun dan menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak puasnya menerima jawaban al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mu’tazilah telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan kata lain, mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat Islam dibiarkan hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.

Kemungkinan lain juga mungkin disebabkan seperti pendapat berikut bahwa :

Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasywiah-the gross anthropomorphist of some of the traditionalist) yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.

Secara faktual hal ini juga disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mu’tazilah.

Adanya al-mihnah yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan kaum Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.935 M).  Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah, mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan Mu’tazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari mengambil jalan tengah di antara dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.

Meskipun demikian al-Asy’ari tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, “Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal (semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena itu adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah swt, ketika muncul kesesatan.”

Berdasarkan uraian di atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam. Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.

Untuk file lengkapnya bisa download disini Makalah Sejarah Pemikiran Islam.doc

PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus