Skip to main content

4 Fase Sejarah Perkembangan Orientalisme Terhadap Islam


www.azid45.web.id4 fase sejarah perkembangan orientalisme terhadap kajian IslamSebagaimana pada artikel 2 motif kaum orientalisme mengkaji Timur (Islam), dimana pada artikel tersebut menyebutkan bahwa orientalisme merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui seluk beluk Timur yang notabenya adalah Islam. Orientlisme sejak abad Ke-16 sudah mengalami perkembangan yang siginifikan, dimasa awal sangat keras terhadap Islam namun pada zaman ini mereka mulai lembek terhadap Islam sehingga menimbulkan keraguan tersendiri terhadap tokoh Muslim atas kajian mereka, bahkan terdapat pro dan contra terhadap kajian keilmuan yang disajikan kaum orientalis terhaadap Islam. 

Setidaknya terdapat 4 fase sejarah perkembangan orientalis, yaitu; Fase Pertama, dimulai pada abad ke enam belas (abad ke-16) masehi. Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai symbol gerakan anti Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Seperti disebutkan diatas, akar gerakan ini jika ditelusuri merupakan reaksi terhadap subtansi ajaran Agama Islam yang sejak dini sekali telah menetang Kristen dan Yahudi.

Al-Qur'an jelas sekali membenarkan kerancuan dua Agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam perang salib juga memicu semangat anti Islam ini. Islam itu bagi orang Kristen adalah merupakan sumber terror, perusak, dan barbar. Bagi orang Eropa, Islam adalah trauma yang tidak pernah berakhir. Southesan dalam bukunya Western Views Of Islam In The Middle Ages, bahwa orang Kristen ingin agar Timur dan Barat Eropa bersepakat bahwa Islam adalah Kristen yang sesat. Dan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya yang kesemuanya itu di ambil dari doktrin Agama yang dibawanya.[1]

Fase Kedua, fase kedua orientalisme ini terjadi pada abad ke-17 dan 18 M. fase ini adalah fase penting orientalisme sebab ini adalah gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada abad inilah ratu-ratu dan raja-raja Eropa bersepakat untuk mengumpulkan segala macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa, Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667), dan Lorriununer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Selain itu Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku kamus bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad.

Fase Ketiga, fase ketiga orientalisme ini adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke-20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi muslim maupun bagi orientalisme itu sendiri. Sebab dalam fase ini Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik, sosial, militer, ekonomi dan kultural. Dalam fase ini banyak para orientalisme yang menyumbangkan karyanya dalam studi Islam, tidak sedikit pula karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu diterbitkan. Mungkin karena Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, sehingga mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.

Fase Keempat, fase keempat orientalisme ini ditandai dengan adanya perang dunia ke II. Khususnya di Amareka, Islam menjadi kajian yang popular. Kajian ini tidak hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan perancangan kebijakan politik dan juga bisnis. Sekali lagi dalam fase ini terjadi perubahan, dari sentiment keAgamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith, terang-terangan mengatakan "pencarian ilmu selalu siap mengubah Hypotesanya". Faktanya memang orang-orang Barat non muslim baru saja memulai memperlembut sikapnya terhadap Islam bahkan menarik kata tidaknya.[2]

Sir Hamilton Gibb, secara diplomatis mengatakan ia menerima pendapat bahwa wahyu adalah gamabaran pengalaman pribadi Rasulullah, tetapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu.[3] Perubahan sikapnya menjadi begitu kentara beruabah dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya dan kini mereka mulai mempersoalkan interprestasinya.

Oleh karena itu kajian mereka merubah sikap mereka, maka pada periode ini kajian orientalis lebih Nampak seakan-akan obyektif dan masuk akal. Disini banyak cendikiawan muslim yang terkecoh, sehingga tidak sedikit yang amat apresiatif terhadap kajian Islam para orientalis, bahkan mengadopsinya untuk kajian Islam. Justru akhir-akhir ini kritik-kritik para orientalisme yang tendesius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis, anehnya justru para cendikiawan itu tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Kajian Edwar Said yang tidak kalah ilmiahnya melahirkan kesimpulan bahwa apa saja yang dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imprealis dan etnocentris (Orientalisme, 2014). Sebab Barat memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi.[4]


[1] Norman Daniel, Islam And The West, hal.246-296
[2] The On Understanding Islam-Selected Studies The Hague, 1981, 296
[3] Sir Haliton Gibb, "Pre-Islamic monotheism in Arabia", Harvard: Theological review, 55, 1962, 269
[4] Jurnal Islamika edisi "Orientalisme", 2009, hal.5
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus