Skip to main content

Diskursus Sebuah Perlawanan Aktif Aliran Post Modernism Michel Foucault


www.azid45.web.id - Diskursus Sebuah Perlawanan Aktif Aliran Post Modernism Michel Foucault. Diskursus pasca strukturalisme menawarkan salah satu alternatif terhadap pandangan ideologi. Pandangan ini terdiri dari atas berbagai macam teori, namun secara umum pendekatan ini melihat kekuasaan dan ideologi secara dinamis. Kekuasaan, memproduksi dan mentransformasikan dirinya melalui diskursus kultural dalam interaksi sehari-hari.

Makna posisi-posisi subyektif bukanlah sebuah instrinsik dan pasti tetapi posisi subyek merupakan hasil dari proses dan dinamika interaksi antara faktor dan unsur yang terlibat dalam sebuah interaksi. Dalam konteks pemikiran ini, transformasi, pembentukan, maupun redefinisi terhadap ideologi didasarkan pada makna dan posisi subyektif yang terbentuk dalam proses negosiasi dan diskursus. Proses resistensi terhadap ideologi merupakan proses yang berlangsung terus menerus dan inherent dalam dinamika kekuasaan.

Dalam proses itu, rangkaian pilihan terbuka bagi individu dan kemampuan mereka untuk menegosiasi makna memang dibatasi oleh posisi mereka dalam proses dan dinamika kekuasaan. Berpijak pada pandangan ini, kelompok yang tersubordinasi tidak menyerah dan secara aktif berusaha berjuang. Mereka tidak otomatis dan sukarela menyerah pada pengaruh ideologi dominan karena harga diri otonomi tidak dapat dihilangkan dan ditindas oleh hubungan kekuasaan. Disamping itu, eksistensi ideologi yang hegemonic tidak berarti mengimplementasikan hegemonic total. Walaupun terdapat suatu struktur dan mekanisme yang menekan individu maupun kelompok subordinat selalu berusaha mencari saluran untuk mengekspresikan harga diri dan otonominya.

Bahkan dalam tahap tertentu mereka menolak konsepsi ideologi yang ditafsirkan secara "statis", "tunggal/monolitik", dan "sentralistik". Foucault dengan konspesinya tentang diskursus adalah wakil dari perlawanan terhadap konsep ideologi tunggal. Bagi dia diskursus sosial dan praktik-praktik diskursus adalah bagian dari perjuangan. Sesuatu yang terdiri atas hal-hal yang bersaing dalam memberikan makna terhadap dunia dan dalam mengorganisasikan institusi dan proses sosial. Dalam pengertian ini, diskursus menunjuk kepada hal-hal yang didapat dari pembicaraan atau tulisan dan dari penciptaan makna, tempat kekuatan sosial mengoperasikannya, untuk menghabiskan maksud dan efek tertentu. Itu sebabnya, diskursus mewujudkan apa yang mereka definisikan sebagai pengetahuan dan karena itu menimbulkan kekuatan.

Discourse telah menjadi perdebatan menarik. Tidak hanya para intelektual manca Negara tetapi juga para intelektual local bahkan para elit politik dan tidak ketinggalan masyarakat umum. Adanya keterlibatan bebearapa kalangan dalam penggunaan istilah tersebut membuat konsep diskursus memiliki arti yang luas dan kadang kala tidak jelas.

Bagi intelektual yang kerap disebut aliran post modernism., Michel Foucault (1926-1984), misalnya diskursus tidak hanya masalah semantic bahasa tetapi terkadang persaingan ideologi (ideological battlefield) bahkan tersebut kekuasaan (power struggle). Termasuk juga beberapa intelektual loka yang memandang adanya keterkaitan diskursus dengan istilah "wacana" untuk menopang maneuver politik,[1] sementara itu para politikus mengartikan diskursus dengan istilah "wacana" untuk menumpang maneuver politik yang kemudian diadopsi public secara latah.

Istilah diskursus sebanarnya bukanlah barang baru. Kajian-kajian semiotik, linguistic, analisis isi (countent analysis), analisis framing (framing analysis),[2] telah menggunakan istilah diskursus untuk menandai sebuah teks atau sistem bahasa. Di kalangan sosiologi sendiri, terutama teori-teori mikro, kajian tentang bahasa juga telah mentradisi, misalnya fenomenologi Alfred Schultz (1972), Edmud Husserl (1859-1928), Etnometodologi. Harold Garfingkel (1967), Interaksionis Simbolik George Herbert Mead (1934), Herbert Blumer (1969), Hermeneutik, Dramaturgis Ervin Goffman (1959), bahkan teori kontruksi sosial Peter L. Berger (1967). Namun, istilah diskursus mendapat makna baru ketika para intelektual yang kerap disebut aliran post-modernis menjadi diskursus sebagai kajian sentral. Berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya yang memahami bahasa dalam perspektif netral, aliran post-modernis memahami bahasa dalam perspektif kritis. Bahasa berhubungan erat dengan kekuasaan dan praktik-praktik politik. Orang memproduksi dan memproduksi bahasa tidak hanya sekedar berinteraksi semata tetapi memiliki motif politis.

[1] Lihat Ariel Heryanto (1996), dan beberapa penulis lainnya (Latif dan Ibrahim, 1996) memberikan analisis yang menarik bagaimana bahasa memainkan peran amat penting dalam membangun kekuasaan.
[2] Analisis framing dikembangkan oleh William A. Gamson dan Adre Modigliani (1989), dan Robert N. Etman (1993) framing analysis mencoba mengungkapkan politik pemberitaan oleh media.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus